Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 17 September 2013

Diposting oleh AENG TASEK



Materi BAB 1

Teater Tradisional Indonesia
1. Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya.  Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung  kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

a. Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan  wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.  Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun  930.  Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa.  Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba.  Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal  (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit  sebagaimana dikenal sekarang.

b. Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional  dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud  pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

c. Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan.  Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu.  Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.

d. Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
1.     Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam,  dendang  dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
2.     Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.

e. Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang  orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat.  Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.

f. Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan  lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau.  Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia)  terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi,  lenong,  topeng blantek,  dan   jipeng atau jinong. Pada kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.

g. Longser
Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.

h. Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah  Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang  (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural  sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.

i. Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut  gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggah-ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
1.     Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
2.     Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
3.     Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)

Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.

j. Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang di­gunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.

k. Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.

l. Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.


Materi BAB 2

A. UNSUR PEMBENTUK TEATER
           Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan. Untuk mendukung unsur pokok tersebut diperlukan unsur tata artistik yang memberikan keindahan dan mempertegas makna lakon yang dipentaskan

1. Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah lakon yang  merupakan bentuk tertulis dari cerita drama yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan kedalam pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasi tersebut karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain, dan tata artistik.
Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema, plot, setting, dan tokoh. Akan tetapi,  naskah lakon  yang khusus dipersiapkan untuk dipentaskan  mempunyai struktur lain yang spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang membagi menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik.

2. Sutradara
Di Indonesia penanggung jawab proses transformasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan adalah sutradara yang merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater. Baik buruknya pementasan teater sangat ditentukan oleh kerja sutradara, meskipun unsur–unsur lainnya juga berperan tetapi masih berada di bawah kewenangan sutradara.
Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat atau penonton. Meskipun dalam tugasnya seorang sutradara dibantu oleh stafnya dalam menyelesaikan tugas–tugasnya  tetapi sutradara tetap merupakan penanggung jawab utama. Untuk itu sutradara dituntut mempunyai pengetahuan yang luas agar mampu mengarahkan pemain untuk mencapai kreativitas maksimal dan dapat mengatasi kendala teknis yang timbul dalam proses penciptaan.
Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus mempunyai pedoman yang pasti sehingga bisa mengatasi kesulitan yang timbul. Menurut Harymawan (1993) Ada beberapa tipe sutradara  dalam menjalankan penyutradaraanya, yaitu:
1.     Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep penafsiranya kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga terikat kepada pokok penafsiran tsb.
2.     Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya, sementara pemain dibentuk menjadi robot – robot yang tetap buta tuli.
3.     Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai pengarah atau polisi lalulintas yang mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.
4.     Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin para anggotanya.Teater disamakan dengan padepokan, sehingga pemain adalah cantrik yang harus setia kepada sutradara.

3. Pemain
Untuk mentransformasikan naskah di atas panggung dibutuhkan pemain yang mampu menghidupkan tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok yang nyata. Pemain adalah alat untuk memeragakan tokoh. tetapi bukan  sekedar alat yang harus tunduk kepada naskah. Pemain mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah melalui dirinya. Agar bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yang hidup, pemain dituntut menguasai  aspek-aspek pemeranan yang  dilatihkan secara khusus, yaitu jasmani (tubuh/fisik), rohani (jiwa/emosi), dan intelektual. Memindahkan naskah lakon ke dalam panggung melalui media pemain tidak sesederhana mengucapkan kata - kata yang ada dalam naskah lakon  atau sekedar memperagakan keinginan penulis  melainkan proses pemindahan  mempunyai karekterisasi tersendiri, yaitu harus menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan).

4.  Penonton
Tujuan terakhir suatu pementasan lakon adalah penonton. Respon penonton atas lakon akan menjadi suatu respons melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yang kurang memperhatikan penonton dan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yang bisa menerima begitu saja apa yang disuguhkan sehingga jika terjadi suatu kegagalan dalam pementasan penonton dianggap sebagai penyebabnya karena mereka tidak mengerti atau kurang terdidik untuk memahami sebuah pementasan.
Kelompok penonton pada sebuah pementasan adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yang peka. Mereka pergi menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan  cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa, untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dan membayar biaya masuk dan lain-lain karena teater adalah dunia ilusi dan imajinasi. Membebaskan pola rutin kehidupan selama waktu dibuka hingga ditutupnya tirai untuk memuaskan hasrat jiwa khayalannya.
Eksistensi teater tidak mengenal batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai sikap dan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dan kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai berikut:
1.     Bertemu dengan orang lain yang menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.
2.     Memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial
            Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yang dihayatinya. Pemisahan yang dimaksud, antara penonton dan yang ditonton, pada seni teater diusahakan dengan jalan:
1.     Menciptakan penataan yang tepat atas auditorium dan pentas.
2.     Adanya batas artistik proscenium sebagai bingkai gambar.
3.     Pentas yang terang dan auditorium yang gelap.
Semua itu akan membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk melakukan perenungan.

5. Tata Artistik
Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi  tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.
Tata panggung adalah  pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan  pemeranan dan suasana  panggung.
Tata cahaya atau lampu  adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.
Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan.
Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.
Tata rias dan tata busana adalah   pengaturan rias dan busana  yang dikenakan  pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain  bisa terlihat jelas penonton.

Materi BAB 3

1.  PESAN MORAL PERTUNJUKAN TEATER
Pertunjukan teater khususnya teater tradisional  mengandung pesan moral yang begitu tinggi  terhadap masyarakat pada umumnya  dan khususnya pada penonton. Pesan moral ini dapat diketahui  melalui amanat-amanat dalam suatu cerita (naskah lakon) yang dipertunjukkan. Di dalam cerita klasik seperti kisah Baratayuda dalam wayang kulit purwa Jawa. Dalam kisah Baratayuda  tersebut mengandung pesan moral  agar selalu menanamkan  kebenaran dan kejujuran yang akan mengalahkan  kebatilan.  Demikian juga kisah Ramayana, merupakan kisah yang mengandung  pesan moral  yang tinggi. Tokoh Rama, Raja Ayodya merupakan lambang kesucian dan kebenaran,  mengalahkan Rahwana, raja Alengka  yang sakti sebagai lambang kejahatan.  Kisah tersebut mengungkap pesan moral  agar setiap manusia  selalu mengedepankan kebenaran, kesucian dan kejujuran.
Pada dasarnya setiap pertunjukan  teater  memiliki pesan moral dan untuk dapat mengungkapkan pesan moral yang tepat dari pertunjukan hendaknya dalam menyaksikan  pertunjukan karya teater secara cermat dan penuh apresiatif.
Ada beberapa  nilai yang terkandung dalam seni drama atau seni teater, nilai-nilai  tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

A.    Nilai Moral
Nilai moral disini adalah  nilai yang berhubungan  dengan budi pekerti, etika dan susila. Setiap karya seni  pasti mengandung nilai moral.  Nilai moral yang ada di dalam karya seni, khususnya karya teater, dapat mengubah sikap dan prilaku penontonnya. Kalau nilai moralnya tinggi dapat membentuk perilaku penonton yang baik dan positif, tetapi kalau nilai moralnya rendah dapat membentuk penonton  memiliki perilaku yang kurang baik. Karya teater tradisi memiliki nilai moral  yang sangat tinggi.

B.    Nilai Budaya
Selain nilai moral, suatu karya teater juga mengandung nilai budaya, termasuk karya teater tradisi.  Setiap karya teater yang dipertunjukkan  menampilkan budaya kehidupan masyarakat  di dalam cerita yang dipentaskan.  Penonton dapat melihat budaya kehidupan masyarakat dalam suatu cerita yang dipentaskan, jika menonton pementasan itu secara lengkap  dari awal hingga selesai. Memang nilai budaya itu terkandung di seluruh rangkaian cerita. Tanpa menyaksikan secara lengkap, tidak mungkin bisa mengungkapkan nilai budaya yang ada.

C.    Nilai sosial
Nilai sosial atau kemasyarakatan  suatu karya teater sangat erat hubungannya dengan  budaya yang ada dalam cerita yang dipentaskan. Misalnya, suatu karya teater mengandung budaya gotong-royong, hal itu berarti memiliki nilai kemasyarakatan yang tinggi, yakni masyarakatnya memiliki sifat suka menolong, suka bekerjasama dan tidak egois. Jika karya teater itu mengandung budaya pergaulan bebas, berarti masyarakatnya juga tidak menghormati norma-norma yang ada.  Nilai budaya pada dasarnya merupakan kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat. Jika kebiasaan masyarakat itu baik, berarti  memiliki nilai kebudayaan yang baik pula. Sebaliknya, jika memiliki kebiasaan yang jelek, nilai budayanya juga rendah.  Nilai budaya sekaligus mempengaruhi nilai kemasyarakatan. Oleh karena itu penonton  perlu memiliki  kepekaan yang tinggi, jika ingin  dapat mengungkapkan nilai-nilai sosial budaya dengan benar.

D.    Nilai Pendidikan / Pedagogis
Gambar 10. Pentas teater anak untuk media pendidikan (dok. internet)
 
Seni drama atau teater merupakan salah satu genre sastra yang di dalamnya memiliki nilai pendidikan, baik secara umum yaitu pendidikan kewarganegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Maupun secara khusus, yaitu pendidikan moral, budi pekerti serta susila, dan pendidikan estetis. Hasil dari pendidikan adalah perubahan sikap. Oleh karena itu, pertunjukan drama atau teater dapat menghasilkan perubahan terhadap penonton.  Setelah menonton pertunjukan teater diharapkan memiliki moralitas yang tinggi dan budi pekerti yang luhur.
Karya teater benar-benar memiliki nilai pendidikan yang tinggi, terutama pendidikan moral disamping pendidikan kewarganegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Seperti yang telah diuraikan dimuka bahwa wayang kulit purwa Jawa dan Ramayana sarat  dengan nilai moral  dan benar-benar memiliki nilai pendidikan yang tinggi. Pertunjukan teater sangat cocok dikonsumsi  oleh anak usia  remaja karena mereka sedang mengalami masa  puber, memiliki rasa ego yang tinggi, ingin menang sendiri, merasa dirinya yang paling benar, emosional, sulit menghargai orang lain, dan cenderung tidak memiliki pegangan yang tetap.  Melalui pendidikan drama atau teater di sekolah, akan dapat mengubah perilaku yang dimilikinya menjadi baik dan terkontrol.
Oleh karena itu para siswa hendaknya secara intensif mementaskan dan menyaksikan karya teater,  terutama teater tradisi sehingga selain dapat mengubah perilaku, juga dapat dengan tepat mengungkapkan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.

E.     Nilai Kemanusiaan / Humanisme
Manusia dan kemanusiaan menjadi problematik sentral dalam kerja seni atau seni teater, maka seni drama atau teater adalah seni kolektif yang sarat akan muatan nili-nilai humanisme. Pada dasarnya sebuah seni drama atau seni teater yang termasuk dalam karya fiksi bertumpu pada penghayatan terhadap sosok-sosok tokoh  yang diciptakan, baik secara langsung oleh pengarangnya maupun secara tidak langsung melalui percakapan antar tokoh.
Didalam teater tradisional  tersebut amatlah kaya akan nilai-nilai humanisme, baik dalam tataran mikrokosmos maupun makrokosmos. Lakon-lakon yang terdapat dalam serial Ramayana dan Mahabarata secara tematis filosofis sarat akan muatan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua serial lakon perjuangan tersebut secara filosofis dapat dimaknai sebagai perang melawan angkara murka, keserakahan, ketamakan, kezaliman dan ketidakadilan. Tokoh-tokoh seperti Arjuna, Kresna, Semar, Werkudara, Gatotkaca, Hanoman dan Puntadewa merupakan tokoh idola masyarakat Jawa, bukan hanya karena kesaktiannya, tetapi juga nilai kemanusiannya (humanisme).

F.     Nilai Keindahan / Estetis
Karya teater merupakan salah satu karya sastra yang didalamnya mengandung nilai-nilai estetis yang bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan penonton pada khususnya. Keindahan di sini memiliki cakupan yang luas dan bermanfaat, yaitu keindahan moral, keindahan susila, keindahan akal, dan keindahan alami. Bagi orang yang menyaksikan karya teater, khususnya karya teater tradisi, akan dapat menikmati keindahan yang ada di dalamnya dan akhirnya mendapatkan kepuasan bathin.
Seni drama atau teater merupakan tempat bertemunya berbagai cabang seni, yaitu seni musik, seni tari, seni suara, seni panggung, seni lukis dan seni peran.  Perpaduan seni tersebut membawa suatu keindahan akali yang benar-benar menarik dan menjadi kepuasan bathin

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Agustinus Suharjoko, S.Sn. Alumni Institut Seni Indonesia Yogjakarta (2003) n sekarang jadi pengajar seni budaya di SMAN 1 Kalianget. Menjadi Ketua MGMP Seni Budaya SMA Kabupaten Sumenep,Ketua Lembaga Tanah Kapur(kajian, dokumentasi dan apresiasi budaya Madura), Komite teater DKJT (2008-2013) dan Pengurus FK Metra Propinsi Jawa Timur(2009-2014). Penghargaan Kesenian sebagai Pemuda Pelopor Jatim 2003, Seniman berprestasi tingkat Nasional, Sutradara dan penata artistik beberapa karya seni pertunjukan tingkat Jawa timur dan nasional. Beberapa karya seni pertunjukan ; Alalabang 1 & 2 (2006-2007), san misan (2007), ronjangan pateh (2006), arokat mempe (2008).Ivent yang pernah diikuti Fest. karya tari Indoneia (2006), International Dance Festival (2006), Festival Seni Tradisi Lisan Nusantara (2007), Pawai Keprajuritan Nusantara (2007),Pesta kesenian Bali 2007, Penyaji dan sutradara terbaik Fragmen Budi Pekerti 2006, 2007 dan 2008.Penyaji terbaik Pekan seni Pelajar (teater) 2003,2005 dan 2007. Sekarang membangun komunitas musik perkusi ;Le Gung. Pengembangan pendidikan seni dan Pembina ekskul teater dan cinematografi di SMAN 1 Kalianget.

Eatore