Selasa, 03 September 2013
Teater Tradisional Indonesia
1. Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia
(2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak
sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater
tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional
merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan
unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh.
Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut
membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam
masyarakat lingkungannya.
Proses
terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi
dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu
berbeda-beda, tergantung kondisi
dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional
lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di
daerah-daerah di Indonesia.
a.
Wayang
Wayang merupakan
suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana
asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di
Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung
dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah
dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin
Arjunawiwaha karya Mpu
Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya
pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum
jelas tergambar model pementasannya.
Awal
mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada
tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para
leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa
dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya
hanya digambar di dalam rontal (daun
tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang
kulit sebagaimana dikenal
sekarang.
b. Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa
Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi
dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang
berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan
oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater
tradisional dan tidak memakai topeng.
Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa
Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak
begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman
untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan
oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang
kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh
para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud
pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater
tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku
(pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam
pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda,
karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang
kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan
wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi
lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih
mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang
karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakan
badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang.
Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain
topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.
c. Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat
kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau
di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau
ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat,
legenda dan juga cerita-cerita kerajaan.
Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga
sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater
rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian,
nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat
populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan
Melayu. Daerah Riau merupakan sumber
dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari
daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan
yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan
segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang
(sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan
persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa
atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan
dapat berjalan lancar.
d. Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan
yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai
masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya,
terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di
Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra
lisan yang disebut “kaba”
(dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar
Randai, yaitu.
·
Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang
disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat
musik tradisional Minang, yaitu salung,
rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
·
Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang
dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari
gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam
kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
e.
Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang
paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering
menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada
tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka
yang lebih dikenal dengan Komidi Indra
Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap
perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir,
telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek,
atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.
Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
f.
Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut
teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan
dengan lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta,
menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama
Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong,
topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada
kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan
umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.
g.
Longser
Longser
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di
Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di
daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah
(terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari
kata melong (melihat) dan seredet (tergugah).
Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah.
Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang
bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka.
Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu
lengger. Ada lagi yang serupa,
dengan penekanan pada tari, disebut ogel
atau doger.
h.
Ubrug
Ubrug
merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah
Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa
dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan
di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja
untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan
suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat
diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat,
sesekali dongeng atau cerita sejarah
Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka
Pecak, Si Pitung atau Si Jampang (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di
Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat,
menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga
selalu mencuri perhatian para penonton.
i.
Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer,
terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun
dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian
rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat
lainnya seperti srandul dan emprak.
Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang
desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama,
yang disebut gejogan. Dalam
perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak
merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang
digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa,
namun harus diperhitungkan masalah unggah-ungguh bahasa. Dalam bahasa
Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
·
Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
·
Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
·
Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang
tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan
bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa.
Karena itu muncul yang disebut bahasa
ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
j. Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang
bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam
perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti
karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek
Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi
bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah
kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada
kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan,
yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk
peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk.
Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya
selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita
tidak diperkenankan muncul di depan umum.
k. Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang
paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang
dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh
orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian
klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh
merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal
sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman
Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji
yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya
adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama
menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali.
Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali
biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan
nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang
mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung
kesamaan dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi
mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat menyanyi.
Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru
tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung
antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan
dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam
gamelan adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia
memberi aba-aba pada penari dan penabuh.
l.
Arja
Arja
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di
Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater
yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah
Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk
nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang
disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang
(nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus
yang disusun dalam tembang macapat.
0 komentar:
Posting Komentar