Rabu, 13 November 2013
BAB
1
1. PENGERTIAN DAN DEFINISI SENI
Mengapresiasi
artinya berusaha mengerti tentang
seni dan menjadi peka terhadap segi-segi
di dalamnya, sehinga secara sadar mampu menikmati dan menilai karya dengan semestinya.
Seni adalah
salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang sejajar dengan
perkembangan manusia selaku penggubah dan penikmat seni.
Kebudayaan adalah hasil pemikiran,
karya dan segala aktivitas (bukan perbuatan), yang merefleksikan naluri secara
murni.
Seni memiliki
nilai estetis (indah) yang disukai oleh
manusia dan mengandung ide-ide yang
dinyatakan dalam bentuk aktivitas atau rupa sebagai lambang.
Dengan seni kita dapat memperoleh kenikmatan sebagai akibat dari refleksi perasaan
terhadap stimulus yang kita terima.
Kenikmatan seni bukanlah kenikmatan
fisik lahiriah, melainkan kenikmatan batiniah
yang muncul bila kita menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika
dari penggubah seni. Dalam hal ini seni
memiliki nilai spiritual.
Kedalaman dan kompleksitas seni
menyebabkan para ahli membuat definisi
seni untuk mempermudah pendekatan kita dalam memahami dan menilai seni. Konsep yang muncul
bervariasi sesuai dengan latar belakang pemahaman, penghayatan, dan pandangan ahli tersebut terhadap seni.
Beberapa definisi tersebut antara
lain :
1. Ensiklopedia Indonesia
Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena keindahan bentuknya, orang senang
melihat atau mendengar.
2. Ki Hajar Dewantara
Seni merupakan perbuatan manusia
(penggubah) yang timbul dari perasaannya
dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan manusia (penerima).
3. Achdiat Kartamihardja
Seni adalah kegiatan rohani manusia
yang merefleksikan realitas ke dalam
suatu karya. Bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman
tertentu dalam batin penerimanya.
4. Aristoteles
Seni adalah peniruan bentuk alam
dengan kreatifitas dan ide penggubahnya
agar lebih indah.
5. Leo Tolstoy
Seni adalah suatu kegiatan
manusia (penggubah) yang secara sadar
dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan
yang telah dihayatinya kepada orang lain (penerima) sehingga ikut merasakan
perasaan-perasaan seperti yang ia
(penggubah) alami.
6. Schopenhauer
Seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk
yang menyenangkan. Meskipun musik adalah seni yang paling abstrak, tapi tiap
orang menyukainya.
7. Thomas Munro
Seni adalah alat buatan manusia (penggubah) untuk
menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain (penerima) yang melihatnya.
Efek-efek tersebut mencakup segala tanggapan yang berwujud pengamatan,
pengenalan, imajinasi yang rasional maupun yang emosional.
2. CABANG-CABANG
SENI
Berdasarkan realita yang berkembang
di masyarakat, seni digolongkan menjadi 5 cabang yang memiliki kesatuan dan keterkaitan.
1)
Cabang seni rupa bentuk medianya benda.
2)
Cabang seni sastra bentuk medianya tulisan
3)
Cabang seni musik bentuk medianya suara, benda, manusia
dan gerak proses
4)
Cabang seni tari bentuk medianya tubuh manusia, gerak dan
musik
5)
Cabang seni teater bentuk medianya manusia, benda/alam,
akting, adegan, suara atau musik
3. SENI SEBAGAI ESTETIKA
Estetika berada di luar lingkup
logika ataupun etika. Definisi menurut para ahli sebagai langkah pendekatan
memahaminya antara lain sebagai berikut.
1.
Al
Ghazali
Keindahan suatu benda terletak pada
perwujudan dari kesempurnaan karakteristik benda itu dan ditambah dengan adanya
jiwa atau roh di dalamnya.
2. Alexander Baumgarten
Keindahan itu dipandang sebagai
kesatuan yang merupakan susunan yang teratur dari bagian-bagian yang mempunyai
hubungan erat satu dengan yang lain secara keseluruhan.
3. Herbert Read
Keindahan adalah suatu kesatuan
hubungan formal dari pengamatan yang menimbulkan rasa senang.
4. Immanuel kant
Keindahan ditinjau dari dua sisi,
yaitu:
Objektif : Keindahan adalah keserasian suatu objek terhadap
tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi
fungsi.
Subjektif : Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dengan
logika dan konsep dan tanpa disangkutpautkan dengan kegunaan praktis dapat
mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
5. Zulser
Keindahan adalah sesuatu yang baik
dan dapat memupuk rasa moral.
6. Thomas Aquines
Keindahan akan terbentuk jika
memenuhi 3 syarat, yaitu adanya :
a.
Integritas (kesatuan) atau kesempurnaan,
b.
Proporsi yang tepat dan harmonis.
c.
Klaritas (kejelasan).
Penganut teori
objektif menempatkan rasa estetis lebih utama sehingga memliki konsep, pola
pikir, atau alasan logis mengapa sesuatu itu dikatakan indah. Penganut teori
subjektif meletakkan keindahan secara pribadi dalam diri si penikmat karya seni
sehinga tidak dapat memberi alasan mengapa sesuatu itu dikatakan indah.
Keindahan seni
adalah keindahan ekspresi, kreasi seniman. Jadi,
pemandangan alam bukan keindahan seni
4. SENI SEBAGAI
KREATIVITAS
Manusia memiliki
kelebihan berupa akal pikiran, kalbu, emosi, nafsu, dan kemampuan membuat
sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran untuk membuat sesuatu (kreasi) yang
baru, baik, nyata atau abstrak disebut kreativitas. Proses kreasi
seni mempunyai ciri khusus antara lain seperti dibawah ini.
a. Unik
Unik artinya
sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang belum pernah dibuat orang
sebelumnya, baik dalam hal ide, teknik, dan media. Alangkah baiknya jika karya
senimu adalah hasil kreasimu sendiri, bukan mencontoh dari yang sudah ada.
Karya lain dapat digunakan sebagai pemicu munculnya gagasan. Kembangkanlah
gagasan tersebut menjadi sesuatu yang unik dan baru. Dengan demikian,
kreativitasmu akan terasah.
b. Individual (pribadi)
`Artinya
memiliki kekhususan ciri dari seniman pembuatnya, yang berbeda dengan seniman
lain karena perbedaan pandangan, penghayatan, pengalaman, dan tehnik dalam
membuat karya seni. Bandingkanlah karyamu dengan karya temanmu. Objek yang dipakai sebagai
pemicu gagasan seni bisa jadi sama. Tapi karena pandangan, penghayatan,
pengalaman, dan teknik yang berbeda, hasilnya tentu akan berbeda.
c. Ekspresif
Karya seni
merupakan hasil curahan bathin berupa penjabaran dari ide, renungan, perasaan,
atau pengalaman seniman. Seni yang tanpa curahan bathin seolah-olah kering dan
tak dapat menyentuh perasaan yang menikmatinya.
d. Universal
Karya seni dapat dinikmati oleh
semua lapisan masyarakat, bangsa, dan generasi karena adanya persamaan rasa
estetik dan artistik.
e. Survival (tahan lama)
Nilai seni dalam suatu karya seni
dapat dinikmati sepanjang masa karena nilai estetikanya bersifat konsisten.
Contohnya, karya seni peninggalan zaman kuno, masih bisa kita nikmati sekarang.
5. FUNGSI DAN TUJUAN SENI
Menurut
antropologi, kesenian adalah salah satu unsur budaya manusia. Kita dapat
merasakan dalam pengalaman hidup sehari-hari, betapa kita sangat membutuhkan
sarana berekspresi dan menikmati keindahan dalam berbagai bentuk.
Berdasarkan
fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan, seni dipilah menjadi beberapa kelompok.
1. Fungsi Individual
Manusia terdiri
dari unsur fisik dan psikis. Salah satu unsur psikis adalah emosi. Maka fungsi
individual ini dibagi menjadi fungsi pemenuhan kebutuhan seni secara fisik dan
psikis / emosional.
a. Fisik
Fungsi ini
banyak dipenuhi melalui seni pakai yang berhubungan dengan fisik. Seperti
busana, perabot, rumah, musik senam, dan sebagainya.
b. Emosional
Dipenuhi melalui
seni murni, baik dari segi si pembuat / penggubah, maupun konsumen penikmat.
Contohnya, lukisan, novel, musik, tari, film, dan sebagainya.
2. Fungsi Sosial
Fungsi sosial
artinya dapat dinikmati dan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak dalam
waktu relatif bersamaan. Fungsi ini dikelompokkan menjadi beberapa bidang.
a. Religi / keagamaan
Karya seni dapat dijadikan ciri
atau pesan keagamaan. Contoh: kaligrafi, busana muslim, arsitektur atau
dekorasi rumah ibadah, lagu-lagu rohani.
b. Rekreasi/hiburan
Seni dapat dijadikan sebagai sarana
melepas kejenuhan atau mengurangi kesedihan. Hal itu dapat
terjadi misalkan pada saat kita menyaksikan musik, tarian,
film, dan lawak.
c. Komunikasi
Seni dapat digunakan untuk
mengkomunikasikan sesuatu, seperti pesan, kritik, kebijakan, gagasan, dan
produk kepada orang banyak. Contoh: lagu balada, poster, drama komedi, dan
reklame. Tema yang sering dibuat antara lain:
a)
Ketidakdisiplinan anggota masyarakat terhadap lingkungan.
b)
Himbauan melaksanakan program pemerintah.
c)
Anjuran kesehatan / kesejahteraan.
d)
Ketidakadilan suatu kebijakan.
d. Pendidikan
Pendidikan juga memanfaatkan seni
sebagai sarana penunjangnya. Contoh: gambar ilustrasi buku pelajaran, film
ilmiah atau dokumenter, poster ilmiah, lagu anak-anak dan foto.
BAB
2
1.
PENGERTIAN TEATER MODERN
Teater
berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place)yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata
teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak.
Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya
ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan,
sulap, akrobat, dan lain sebagainya (Harrymawan, 1993). Namun demikian, teater
selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai”
yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata
Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih
ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada
sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).
Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan
perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks
atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung
dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita
yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama
yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama”
adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau
salah satu unsur dari “teater”. Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan
drama adalah sebagai berikut.
Dengan
kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan
dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain di atas
pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani
“dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena
aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan
pemain wanita disebut actress (Harymawan,
1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan
tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di
atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya
naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan
teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilahteater. Yang ada adalah
sandiwaraatau tonil(dari bahasa Belanda: Het
Toneel). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara,
sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan
permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah
teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim
Achmad, 2006).Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka
Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi”
berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”.
Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang
dilakukan dengan perlambang” (Harymawan,
1993).
A. Asal Mula
Teater
Waktu
dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun
yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori
tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
1.
Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita
ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi
pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater
ini hidup terus hingga sekarang.
2.
Berasal dari nyanyian
untuk menghormatiseorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini
seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan
diperagakan dalam bentuk teater.
3.
Berasal dari kegemaran
manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat
dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dan lain
sebagainya).
Rendra
dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993),
menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis
seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban
Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban
Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti
irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah
mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.
I Kher-nefert menulis naskah
tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga terkenal sebagai Naskah Abydos yang
menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik. Jalan cerita naskah
Abydos juga diketemukan tergambar dalam
relief kuburan yang lebih tua. Para ahli bisa memperkirakan bahwa jalan
cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM. Meskipun baru
muncul sebagai naskah tertulis di tahun
2000 SM. Dari hasil penelitian yang
dilakukan diketahui juga bahwa pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater
yang meliputi pemain, jalan
cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu
juga properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.
B. Teater Modern
1.
Teater Transisi
Teater transisi
adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai
mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih
tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan
unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang
sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud
cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per
adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung
pertunjukan.
Pada periode
transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain
pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan
teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar
tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali
berdirinya gedung Schouwburg pada
tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan
masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboeldi Surabaya pada
tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan
teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah
drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan
diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yangberjudul Lelakon
Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda,
Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan
bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie
Stamboel didirikan muncul kelompok
sandiwara seperti Sandiwara Dardanella
(The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A.
Pedro pada tanggal 21 Juni 1926.
Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek,
Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater
transisi belum muncul istilahteater.
Yang ada adalahsandiwara.
Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan
cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan
Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi
masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
2. Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan
angkatan Pujangga Baru kurang berarti
jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting
dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai
bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk
dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan
kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat
keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang
pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar
tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari(artinya kebebasan yang
sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam
Efendi(1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi
pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama
Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis
lakon lainnya, yaitu Sanusi Panemenulis
Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning
Majapahit (1933) Muhammad
Yaminmenulis Ken Arok danKen Dedes (1934). Armiijn Panemengolah roman Swasta
Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah
drama. Nur Sutan Iskandarmenyadur karangan Molliere, dengan judul Si
Bachil.Imam Supardimenulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis
drama berjudul Nyai Blorong. Mr.
Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta
misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah
cendekiawan Indonesia, menulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno,
pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di
pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi,
dan Dr. Setan.
3. Teater
Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan
pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung
pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di
arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam
situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaituAnjar Asmaradan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa
perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan
kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan
kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal
6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia
dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang
(Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan
kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan
kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah
diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan
kesenian Indonesia, ternyata mengalami
hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu
yang membentuk badan perfilman dengan
nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.Intensitas kerja Djawa Eiga
Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak
ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia,Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya
merupakan corong propaganda Jepang.
Dalam masa pendudukan Jepang kelompok
rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara
profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena
pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling
komersial, seperti misalnya Bintang
Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata
Hari, Pancawarna,dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan
cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor
dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan
sebagainya. Pengarang NyooCheong Seng,
yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara
lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati,dan Merah Delima.
Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan
pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan
Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian,
nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode
show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul
kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan
bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi
Madadengan suaminya Ferry Kok,
yang sekaligus sebagai pemimpinnya.
Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan
teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak
masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida
Ayu, Ni Parini, danRencong
Aceh.
Hingga
tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola
pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu
masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin
sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan
sandiwara Warna Sari adalah
penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan
drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia
menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik
minat penonton. cerita-cerita yang dipentaskan
antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang
Kaca, Dewi Rani,dan lain sebagainya.
Rombongan
sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan
sandiwara yang digemari rakyat jelata.
Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah
barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan
cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara,
dan Kama Jaya pada tanggal 6
April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar
yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada
awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga
akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang
lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak
lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida,
Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna,
dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu
Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo
di Waktu Malamdan Nusa Penida.
Pertumbuhan
sandiwara profesional tidak luput dari
perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu
memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua
rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus
dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan
Jepang, Kotot Sukardi menulis
lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng
Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik
Ibsenditerjemahkan dan judulnya diganti
dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu
Prajurit ditulis oleh Natsusaki
Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap
berikut dialognya. Para pemain tidak
boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah.
Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal
dikenalkannya naskah dalam setiap
pementasan sandiwara.
Menjelang
akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra
yang berarti, yaitu Penggemar Maya
(1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota
cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan
lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan
agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional
dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi
kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan
religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan.
Bahwa teori teater perlu dipelajari secara
serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater NasionalIndonesia di Jakarta.
4. Teater
Indonesia Tahun 1950-an
Setelah
perang kemerdekaan, peluang
terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan,
kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan,
kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan,
dan lain-lain. Peristiwa perang
secara khas dilukiskan dalam lakonFajar Sidik(Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir(Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik
Hitam (Nasyah Jamin,
1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah
Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan
paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan,
Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema
itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang
Ada Orang Lain (1953) karya Utuy
Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh
Akhdiat Kartamiharja (1956)
berdasarkan The Man In Grey Suit karyaAverchenko
dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karyaJohn
Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai
awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering
menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan
sampai ke Malaysia.
Realisme
konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi
pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh
idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini
menjadi tonggak didirikannya Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI)pada tahun 1955 oleh Usmar
Ismaildan Asrul Sani.
ATNI menggalakkan dan memapankan realisme
dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-karya
Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang
dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI
inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi
Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati,
Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono
mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni
Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
5. Teater
Indonesia Tahun 1970-an
Jim lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan
mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater
etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan
teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim
mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional.
Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman
Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The
GlassMenagerie(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960,
Jim Lim menyutradari Bung Besar,
(Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun
1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya
penyutradaraannya yang berjudul Pangeran
Geusan Ulun(Saini KM., 1961). Mengadaptasi
lakon Hamlet dan diubah
judulnya menjadiJakaTumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya
realistis tetapi isinya absurditas pada
lakon Caligula(Albert Camus, 1945), Badak-badak(Ionesco, 1960),
dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun,salah satu aktor dan
juga teman Jim Lim,melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu
mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa
penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun
1967, Ketika Rendrakembali ke
Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yangkemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak
berdasarkan naskah jadi (wellmade play)
seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari
improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu
tema yang diistilahkan dengan teater
mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya,
Bib Bop dan Rambate Rate
Rata (1967,1968).
Didirikannya
pusat kesenian Taman Ismail Marzuki
oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater
tidak hanya di Jakarta, tetapi
juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67
(enam puluh tujuh) judul lakon yang
ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival
pertunjukan secara teratur, juga
lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky
tetapi nama-nama seperti Brecht, Artauddan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di
Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht)
dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat,
Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur,
Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater
Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater
Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar.
Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh
teater yang muncul tahun 1970-an lainnya
adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana
Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa
Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam
Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil)
dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking,
musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater
Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras.
Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada
aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata
artistik glamor.
6. Teater
Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun
1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan
lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa
Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu
lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival
Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis
festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang
diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya
ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati
dan Mukid F.
Pada
saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia.
Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater
yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di
masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit,
Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang
menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan
rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-publik,
dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota
Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali,
Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang
muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul
Teater Potlot.
Dari
Festival Teater Jakarta muncul kelompok
teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu
posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi
latihan. Ada pula Teater Luka, Teater
Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio
Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas
teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus
yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki
program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater
kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan
artistik.
BAB 3
TEATER TRADISIONAL
Kasim Achmad
dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional
di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia
dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa
unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual.
Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun
upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu,
yang disebut “teater”,
sebenarnya barumerupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk
kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara,
unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari
spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses
terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi
dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu
berbeda-beda,tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan
tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa
bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
A. Wayang
Wayang merupakan
suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana
asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di
Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung
dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah
dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam
itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karyaMpu Kanwa, pada Zaman Raja
Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian
tradisi yang sangat tua. Sedangkan
bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya
wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930.
Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar
yang kemudian dinamakan Wayang Purwa.
Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman
Purba. Pada mulanya hanya digambar di
dalam rontal (daun tal). Orang
sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit
sebagaimana dikenal sekarang.
B. Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu
pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah
bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang
dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari
dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang
orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga
pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer.
Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan
pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang
yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak
muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya
sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya
berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang
dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh
dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai
pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat
pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan
menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat
meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan
dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di
depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan
pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para
pemain di sini hanya menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi
ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari.
Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng
dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain
tidak mengucapkan dialog.
C. Makyong
Makyong
merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang
paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada
mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam
perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan
juga cerita-cerita kerajaan. Makyong
juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan
di istana-istana.
Bentuk teater
rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan
menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa
cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat
tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu.
Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa
sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan
baik di daerah lain.
Pementasan
makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai
tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton
berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong)
tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai
yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah
dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
D.
Randai
Randai
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang
terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih
hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama
di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau
bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang
disebut “kaba” (dapat diartikan
sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar
Randai, yaitu.
1.
Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang
disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat
musik tradisional Minang, yaitu salung,
rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
2.
Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang
dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari
gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam
kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
E. Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang
paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering
menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada
tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka
yang lebih dikenal dengan Komidi Indra
Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap
perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir,
telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan BadaMoeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul
cerita yaitu Abdoel Moeloek
karangan Saleha.
F. Lenong
Lenong merupakan
teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat
ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan
lenong di zaman dahulu. Kata daerah
Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah
teater masa lampau. Pada saat itu, di
Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong,
topeng blantek, dan jipeng atau jinong.Pada kenyataannya
keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya
pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.
G. Longser
Longser
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di
Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di
daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah
(terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat)
dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat (menonton)
pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan
kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat
kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian
yang sejenis dengan Longser, yaitu lengger.
Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.
H. Ubrug
Ubrug merupakan
teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug
menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng
banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja,
seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan,
tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu
“perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang
tampil.
Cerita-cerita
yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita
sejarah Beberapa cerita yang sering
dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si
Jampang (pahlawan rakyat setempat,
seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada
teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para
penonton.
I. Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di
daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam
kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Pada mulanya
ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan
menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi
suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk
teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh
perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan
masalah unggah-ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat
bahasa yang digunakan, yaitu:
1. Bahasa Jawa
biasa (sehari-hari)
2. Bahasa Jawa
kromo (untuk yang lebih tinggi)
3. Bahasa Jawa
kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan
bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa.
Karena itu muncul yang disebut bahasa
ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
J.
Ludruk
Ludruk
merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur,
berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan
dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke
daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke
Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun
semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat.Peralatan musik
daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering
ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan
lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan,
Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain
ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini
merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat
di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda,
ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan
umum.
K.
Gambuh
Gambuh
merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal
dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa
sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat
sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang
ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan
kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara
di istana raja-raja.
Kebanyakan
lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke
dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan,
Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog
berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para
punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat
rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat
tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut
gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater
Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu
para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah
gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua
atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling.
Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau
disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.
L. Arja
Arja merupakan
jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali.
Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang
penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa
Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian
(tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan
unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang
digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam
tembang macapat.
M. Topeng Dhalang
Pertunjukan topeng sebagai
genre kesenian mandiri, yaitu pertunjukan musikal dengan topeng clan tarian,
disutradarai hanya oleh seorang pencerita, yakni dhalang. Oleh karena itu, pertunjukan topeng sering disebut topeng dhalang, untuk membedakannya dari
pertunjukan topeng lain yang tidak menggunakan dhalang. Kadang‑kadang ada pelawak bertopeng setengah muka turut
berbicara‑karena mulut mereka bebas‑tetapi sernua tokoh lain diwakili oleh
suara dhalang, seperti di dalarn
pertunjukan wayang kulit (itulah sebabnya pertunjukan topeng ini disebut juga
wayang topeng).
a. Panggung
Pertunjukan
Dhalang duduk
bersila di antara pemusik gamelan dan tidak terlihat oleh penonton karena
disekat oleh kain yang dicat. Dialah yang menuntun penari topeng yang sedang
berpentas di sebelah kain itu, di depan penonton. Para penari itu memberikan
raga yang hidup, walaupun bertopeng, kepada suara dhalang yang berubah‑ubah dan mereka bergerak dengan memberi kesan
bahwa mereka adalah boneka wayang yang hidup.
BAB 3
APRESIASI
TERHADAP UNSUR ESTETIS PERTUNJUKAN TEATER TRADISIONAL
Unsur estetis sebuah pertunjukan teater merupakan keindahan yang bermanfaat, yaitu keindahan
moral, keindahan susila, keindahan akal dan keindahan alami. Untuk dapat
menemukan unsur–unsur estetis
pertunjukan teater tradisional di
suatu daerah perlu mengadakan pengamatan
terhadap pertunjukan-pertunjukan teater tradisional tersebut.
Estetis suatu teater tradisional dapat dilihat atau ditemukan pada bentuk penyajiannya, irama musiknya,
gerak fisiknya (misalnya ketentuan tubuh dalam acting), cara penyajiannya, dan
setting atau latarnya. Masih ada hal-hal lain yang menjadi unsur estetis
pertunjukan teater.
Apresiasi terhadap teater daerah yang bersifat tradisional dapat dimulai
dengan menemukan keunikan teater setiap
daerah dan latar atau setting teater
daerah tersebut.
A. Keunikan dan Latar atau Setting Teater
Tradisional
a. Keunikan karya Seni Teater Tradisi
Teater daerah atau tradisional merupakan karya seni yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan teater daerah setempat
dapat dilihat :
1). Bentuk penyajiannya
2). Cara penyajiannya
3). Gerak fisiknya
4). Latar serta settingnya
5). Irama musiknya.
Selain kelima hal tersebut di atas, masih ada hal-hal
lain yang menjadikan keunikan teater daerah setempat, tergantung jenis teater daerah itu sendiri. Oleh karena
itu, dalam sebuah apresiasi perlu adanya
pengamatan secara seksama terhadap
pertunjukan-pertunjukan teater daerah setempat sehingga dapat
menunjukkan keunikan-keunikan dengan baik dan tepat.
b. Latar dan Setting Teater Tradisional
Latar merupakan penggambaran suasana pertunjukan teater
atau pementasan drama. Latar ini
mencakup dekorasi dan tata lampu
(lighting), tata rias, dan musik atau iringan. Latar ini dapat memberikan
penjelasan pada penonton tentang suasana yang ada dalam suatu adegan yang
sedang berlangsung.
Setting merupakan tempat pertunjukan teater berlangsung,
dalam hal ini panggung atau pentas. Setting atau tempat juga merupakan salah satu unsur pokok dalam teater atau drama. Tanpa ada tempat,
suatu drama tidak mungkin terjadi. Walaupun ada, itu hanyalah drama bacaan.
Setting itu bisa hanya berupa ruang yang
terbuka yang sederhana sekali bentuknya, seperti yang ada pada teater-teater
daerah, sampai gedung-gedung teater yang megah dan indah. Akan tetapi bagaimana
bentuknya tempat harus ada bagi para
pemain yang mempertunjukkan permainannya yang disebut panggung atau pentas, dan
tempat bagi penonton yang menyaksikan
pertunjukan itu disebut auditorium.
Susunan latar dan setting teater daerah, dalam hal ini
teater tradisional, masih sederhana bentuknya. Latar dan setting daerah
disamping bentuknya tetap, juga ada yang mengalami perubahan dan perkembangan.
Misalnya ketoprak, suatu teater daerah Jawa yang pada awal mula mengambil tempat yang luas, seperti di lapangan dengan
posisi melingkar. Penonton menikmatinya dengan duduk jongkok, atau berdiri
mengelilinginya. Ketoprak seperti ini dinamakan
ketoprak Ongkek. Iringan tarian sebagai latar dari teater ongkek ini
menunjukkan kesederhanaannya. Terutama tari, masih menggunakan tari yang
sederhana, sekedar mengikuti irama gamelan saja. Seiring dengan perkembangan
ketoprak, latar dan setting juga mengalami perkembangan dan perubahan. Tempat tidak lagi menggunakan lapangan,
tetapi sudah menggunakan gedung pertunjukan, yang didalamnya terdapat panggung,
tempat pemain dan dilengkapi dengan dekorasi dan layar yang berfungsi sebagai pendukung suasana pertunjukan. Dari adegan satu ke adegan lain ada
pergantian layar yang sesuai dengan adegan yang sedang berlangsung. Di dalam
gedung itu juga terdapat auditorium sebagai tempat penonton.
2. UNSUR ESTETIKA DALAM TEATER
Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur
utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa
keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan. Untuk
mendukung unsur pokok tersebut diperlukan unsur tata artistik yang memberikan
keindahan dan mempertegas makna lakon yang dipentaskan
A. Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah
lakon yang merupakan bentuk tertulis
dari cerita drama yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan
kedalam pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media
bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan
karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasi
tersebut karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada
saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen
teater, yaitu sutradara, pemain, dan tata artistik.
Naskah lakon sebagaimana
karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema,
plot, setting, dan tokoh. Akan tetapi,
naskah lakon yang khusus
dipersiapkan untuk dipentaskan mempunyai
struktur lain yang spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh
Aristoteles yang membagi menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi
(pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi
(catastrope). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak
diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik
Teater memiliki
sekurang-kurangnya empat unsur penting
dalam setiap pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang
ditampilkan, bisa berwujud sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak
tertulis (dalam teater kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan
lakon tersebut. Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung.
Keempat, penonton adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari
kemerdekaannya untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon
dan menikmatinya.
Lakon ditulis oleh seorang penulis naskah lakon berdasarkan apa yang
dilihat, apa yang dialami, dan apa yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh
orang lain. Penulis kemudian menyusun rangkaian kejadian, semakin lama semakin
rumit, sehingga pada puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita. Penting
sekali bahwa dalam menyusun
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa seorang penulis haruslah bersabar
untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian lain dalam suatu perkembangan
yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat sehingga akhirnya ia sampai ke
puncak yang disebut klimaks.
Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang sangat penting,
yaitu pertama, kejadian atau peristiwa yang saling mengkait. Kedua, tokoh atau
peran yang terlibat dalam kejadian-kejadian dalam lakon. Peristiwa atau
kejadian dibuat oleh penulis naskah sebagai kerangka besar yang mendasari
terjadinya suatu lakon. Peristiwa dalam lakon bisa rumit bisa juga sederhana.
Tidak ada acuan yang pasti terhadap peristiwa atau kejadian dalam lakon yang
bisa dianggap menarik. Jadi, kalau ada anggapan bahwa semakin rumit peristiwa
atau kejadian dalam lakon semakin menarik adalah anggapan yang salah, karena
peristiwa membutuhkan tokoh sebagai pelaku. Tokoh adalah orang yang
menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah. Jadi
dalam lakon ada dua hal penting yang
diciptakan oleh seorang penulis lakon, yaitu kejadian dan tokoh yang terlibat
dalam kejadian.
Penulis lakon dalam menciptakan kejadian yang bertolak
dari suatu cerita mungkin tidak akan mengalami kesulitan. Akan tetapi, mencipta
seorang tokoh yang logis dengan latar belakang masa lampau, hari ini,
cita-cita, dan pandangannya bukan suatu hal yang gampang. Seorang tokoh yang
tidak masuk akal biasanya tidak akan dimengerti atau dirasakan oleh penonton karena tokoh itu terlalu jauh dari
realitas kehidupan. Seorang penulis dapat menciptakan tokoh dengan menggunakan
kaidah Aristoteles, bahwa realitas adalah prinsip kreatif. Maka menciptakan
kembali prinsip kreatif yang lebih sempurna dari yang ada atau dengan kata lain
menciptakan manusia sebagaimana seharusnya bukan sebagaimana adanya adalah
suatu kreativitas yang tidak menyimpang dari realitas itu sendiri. Hal ini
biasanya digunakan oleh penulis lakon dalam mencipta tokoh-tokoh yang
karikatural, yang aneh tetapi masuk akal.
Naskah lakon atau biasa disebut skenario adalah hal
pertama yang berperan sebelum sampai ke tangan sutradara dan para pemeran.
Naskah lakon merupakan penuangan ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan
lakon. Seorang penulis lakon dalam proses berkarya biasanya bertolak dari sebuah
tema. Tema itu kemudian disusun dan dikembangkan menjadi sebuah cerita yang
terdiri dari peristiwa-peristiwa yang memiliki alur yang jelas dan tokoh-tokoh
yang berkarakter. Meskipun sebuah naskah lakon bisa ditulis sekehendak penulis,
tetapi harus memperhitungkan atau berpegang pada asas kesatuan (unity).
Aristoteles (384-322 SM) menggariskan tiga asas kesatuan
dalam teater, yaitu asas kesatuan waktu, tempat, dan lakon. Seni teater adalah
seni ephemeral artinya pertunjukan bermula pada suatu malam dan berakhir pada
malam yang sama. Karena peristiwa-peristiwa yang ditampilkan di atas pentas
menggambarkan kejadian-kejadian yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama
dan selesai dalam waktu yang singkat maka harus jelas karakteristiknya, bagian
awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
1. Tema
Tema ada yang menyebutnya sebagai premis, root idea,
thought, aim, central idea, goal, driving force dan sebagainya. Seorang penulis
terkadang mengemukakan tema dengan jelas tetapi ada juga yang secara tersirat.
Akan tetapi, tema harus dirumuskan dengan jelas, karena tema merupakan sasaran
yang hendak dicapai oleh seorang penulis lakon.
Ketika tema tidak terumuskan dengan jelas maka lakon tersebut akan kabur
dan tidak jelas apa yang hendak disampaikan.
Pengarang atau penulis lakon menciptakan sebuah lakon
bukan hanya sekedar mencipta, tetapi juga menyampaikan suatu pesan tentang
persoalan kehidupan manusia. Pesan itu bisa mengenai kehidupan lahiriah maupun
batiniah. Keunggulan dari seorang pengarang ialah, dia mempunyai kepekaan
terhadap lingkungan sekelilingnya, dan dari lingkungan tersebut dia menyerap
segala persoalan yang menjadi ide-ide dalam penulisan lakonnya. Pengarang
adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang
masalah-masalah politik dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu
zamannya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989). Ide-ide, pesan atau pandangan
terhadap persoalan yang ada dijadikan ide sentral atau tema dalam menulis
naskah lakonnya.
Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh
pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994). Tema bisa juga
disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini mungkin bisa diuraikan
sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan: topik, ide utama atau pesan,
mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983). Adhy Asmara (1983) menyebut
tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam
menentukan arah tujuan cerita. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa
tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang ada dalam naskah lakon dan ini
menentukan arah jalannya cerita.
Tema dalam naskah lakon ada yang secara jelas dikemukakan dan ada yang
samar-samar atau tersirat. Tema sebuah lakon bisa tunggal dan bisa juga lebih
dari satu. Tema dapat diketahui dengan dua cara :
1)
Apa yang diucapkan
tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
2)
Apa yang dilakukan tokoh-tokohnya.
2. Plot
Plot (ada yang menyebutnya sebagai alur) dalam
pertunjukan teater mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini berhubungan
dengan pola pengadeganan dalam permainan teater, dan merupakan dasar struktur
irama keseluruhan permainan. Plot dapat
dibagi berdasarkan babak dan adegan atau berlangsung terus tanpa pembagian.
Plot merupakan jalannya peristiwa dalam lakon yang terus bergulir hinga lakon tersebut selesai. Jadi
plot merupakan susunan peristiwa lakon yang terjadi di atas panggung.
Plot menurut Panuti Sudjiman dalam
bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di
dalam karya sastra (termasuk naskah drama atau lakon) untuk mencapai efek-efek
tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh
hubungan kausal (sebab-akibat). Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa yang
direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui
perumitan (penggawatan atau komplikasi) ke arah klimaks penyelesaian. Menurut
J.A. Cuddon dalam Dictionary of Literaray Terms (1977), plot atau alur adalah
kontruksi atau bagan atau skema atau pola dari peristiwa-peristiwa dalam lakon,
puisi atau prosa dan selanjutnya bentuk peristiwa dan perwatakan itu
menyebabkan pembaca atau penonton tegang dan ingin tahu. Plot atau alur menurut
Hubert C. Heffner, Samuel Selden dan Hunton D. Sellman dalam Modern Theatre Practice
(1963), ialah seluruh persiapan dalam permainan. Jadi plot berfungsi sebagi
pengatur seluruh bagian permainan, pengawas utama dimana seorang penulis naskah
dapat menentukan bagaimana cara mengatur lima bagian yang lain, yaitu karakter, tema, diksi, musik, dan spektakel.
Plot juga berfungsi sebagai bagian dasar yang membangun dalam sebuah teater dan
keseluruhan perintah dari seluruh laku maupun semua bagian dari kenyataan
teater serta bagian paling penting dan bagian yang utama dalam drama atau teater.
Pembagian plot dalam lakon klasik atau konvensional
biasanya sudah jelas yaitu, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Seorang penulis seringkali meletakkan berbagai informasi penting pada bagian
awal lakon, misalnya tempat lakon tersebut terjadi, waktu kejadiannya,
pelaku-pelakunya, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada bagian tengah
biasanya berisi tentang kejadian-kejadian yang bersangkut paut dengan masalah
pokok yang telah disodorkan kepada penonton dan membutuhkan jawaban. Bagian
akhir berisi tentang satu persatu pertanyaan penonton terjawab atau sebuah
lakon telah mencapai klimaks besar.
Pembagian plot terkadang menggunakan tipe sebab akibat yang dibagi dalam
lima pembagian. Bagian-bagian itu antara lain.
1)
Eksposisi adalah saat memperkenalkan dan membeberkan
materi-materi yang relevan atau memberi informasi pada penonton tentang masalah yang dialami atau konflik
yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di lakon.
2)
Aksi Pendorong adalah saat memperkenalkan sumber konflik
di antara karakter-karakter atau di dalam diri seorang karakter.
3)
Krisis adalah penjelasan yang terperinci dari perjuangan
karakter-karakter atau satu karakter untuk mengatasi konflik.
4)
Klimaks adalah proses identifikasi atau proses pengusiran
dari rasa tertekan melalui perbuatan yang mungkin saja sifatnya jahat, atau
argumentative atau kejenakaan atau melalui cara-cara lain.
5)
Resolusi adalah proses penempatan kembali kepada suasana
baru. Bagian ini merupakan kejadian akhir dari lakon dan terkadang memberikan
jawaban atas segala persoalan dan konflik-konflik yang terjadi
B. Tata Artistik
Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari teater.
Pertunjukan teater menjadi tidak utuh
tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi
tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik
yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan.
Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata
artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur
tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih
dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.
Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan
berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton
tetapi juga menghidupkan pemeranan dan
suasana panggung.
Tata cahaya atau lampu adalah
pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk
menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga
menimbulkan suasana istimewa.
Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang
berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi
pergantian babak dan adegan.
Tata suara adalah pengaturan
keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara
aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan
harmoni.
Tata rias dan tata busana adalah
pengaturan rias dan busana yang
dikenakan pemain. Gunanya untuk
menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain bisa terlihat jelas penonton.
1. Setting
Membicarakan tentang setting dalam mengkaji lakon tidak
ada kaitan langsung dengan tata teknik pentas, karena memang bukan persoalan
scenery yang hendak dibahas. Pertanyaan untuk setting atau latar cerita adalah
kapan dan dimana persitiwa terjadi. Pertanyaan tidak serta merta dijawab secara
global tetapi harus lebih mendetil untuk mengetahui secara pasti waktu dan
tempat kejadiannya.
Analisis setting lakon ini merupakan suatu usaha untuk menjawab sebuah
pertanyaan apakah peristiwa terjadi di luar ruang atau di dalam ruang? Apakah
terjadi pada waktu malam, pagi hari, atau sore hari? Jika terjadi dalam ruang lalu
di mana letak ruang itu, di dalam gedung atau di dalam rumah? Jam berapa
kira-kira terjadi? Tanggal, bulan, dan tahun berapa? Apakah waktu kejadiannya
berkaitan dengan waktu kejadian peristiwa di adegan lain, atau sudah lain hari?
Pertanyaan-pertanyaan seputar waktu dan tempat kejadian ini akan memberikan
gambaran peristiwa lakon yang komplit (David Groote, 1997).
a. Latar Tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa
lakon itu terjadi. Peristiwa dalam lakon
adalah peristiwa fiktif yang menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut
Aristoteles peristiwa dalam lakon adalah mimesis atau tiruan dari kehidupan
manusia keseharian. Seperti diketahui bahwa sifat dari naskah lakon bisa
berdiri sendiri sebagai bahan bacaan sastra, tetapi bisa sebagai bahan dasar
dari pertunjukan. Sebagai bahan bacaan sastra, interpretasi tempat kejadian
peristiwa ini terletak pada keterangan yang diberikan oleh penulis naskah lakon
dan dalam imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat
peristiwa ini harus dikomunikasikan atau diceritakan oleh para pemeran sebagai
komunikator kepada penonton.
Analisis ini perlu dilakukan guna memberi suatu gambaran
pada penonton tentang tempat peristiwa itu terjadi. Analisis ini juga sangat
penting dilakukan karena berhubungan dengan tata teknik pentas. Gambaran tempat
peristiwa dalam lakon kadang sudah diberikan oleh penulis lakon, tetapi kadang
tidak diberikan oleh penulis lakon. Analisis latar tempat dapat dilakukan
dengan mencermati dialog-dialog peran yang sedang berlangsung dalam satu
adegan, babak atau dalam keseluruhan lakon tersebut.
b. Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar belakang
peristiwa, adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang sudah diberikan
atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis lakon, tetapi banyak latar waktu ini
tidak diberikan oleh penulis lakon. Tugas seorang sutradara dan pemeran ketika
menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi latar waktu dalam lakon
tersebut. Dengan menggetahui latar waktu yang terjadi pada maka semua pihak
akan bisa mengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata artistik akan menata
perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan latar waktu.
Analisis latar waktu perlu dilakukan baik oleh seorang
sutradara maupun oleh pemeran. Analisis latar waktu yang dilakukan oleh
sutradara biasanya berhubungan dengan tata teknik pentas, sedangkan yang
dilakukan oleh pemeran biasanya berhubungan dengan akting dan bisnis
akting. Latar waktu dalam naskah lakon
bisa menunjukkan waktu dalam arti yang sebenarnya (siang, malam, pagi, sore),
waktu yang menunjukkan sebuah musim (musim hujan, musim kemarau, musim dingin
dan lain-lain), dan waktu yang menunjukkan suatu zaman atau abad (Zaman Klasik,
Zaman Romantik, zaman perang dan lain-lain). Analisis latar waktu bisa
dilakukan dengan mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh tokoh dalam
adegan atau babak yang sedang berlangsung
c. Latar Peristiwa
Latar peristiwa adalah peristiwa yang melatari adegan itu terjadi dan bisa
juga yang melatari lakon itu terjadi. Latar
peristiwa ini bisa sebagai realita bisa juga fiktif yang menjadi
imajinasi penulis lakon. Latar peristiwa yang nyata digunakan oleh penulis
lakon untuk menggambar peristiwa yang terjadi secara nyata pada waktu itu
sebagai dasar dari lakonnya. Misalnya, lakon Raja Lear, mungkin saja William
Shakespeare terinspirasi oleh bencana yang melanda Inggris pada waktu itu, yaitu seolah-olah terjadi
kiamat karena lakon ini dialegorikan sebagai kiamat kecil. Lakon-lakon dengan
latar peristiwa yang riil juga terjadi pada lakon-lakon di Indonesia pada tahun
1950 sampai tahun 1970. Lakon pada waktu itu mengambil latar peristiwa pada
Zaman Perang Revolusi di Indonesia.
Latar peristiwa pada adegan atau lakon adalah peristiwa
yang mendahului adegan atau lakon tersebut, atau yang mengakibatkan adegan atau
lakon itu terjadi
2. Tata Rias
Tata rias secara umum dapat diartikan sebagai seni
mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias dalam teater
mempunyai arti lebih spesifik, yaitu seni mengubah wajah untuk
menggambarkan karakter tokoh.
Tata Rias dalam teater bermula dari pemakaian kedok atau
topeng untuk menggambarkan karakter tokoh. Contohnya, teater Yunani yang
memakai topeng lebih besar dari wajah pemain dengan garis tegas agar ekspresinya dapat dilihat oleh
penonton. Beberapa teater primitif
menggunakan bedak tebal yang biasa dibuat dari bahan-bahan alam, seperti
tanah,tulang, tumbuhan, dan lemak binatang.
Pemakaian tata rias akhirnya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
peristiwa teater.
Tokoh dalam teater memiliki karakter berbeda-beda. Penampilan tokoh yang
berbeda-beda membutuhkan penampilan yang
berbeda sesuai karakternya. Tata rias merupakan salah satu cara menampilkan
karakter tokoh yang berbeda-beda tersebut. Tata rias dalam teater memiliki
fungsi sebagai berikut.
1)
Menyempurnakan penampilan wajah
2)
Menggambarkan karakter tokoh
3)
Memberi efek gerak pada ekspresi pemain
4)
Menegaskan dan menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
5)
Menambah aspek dramatik.
3. Tata Busana
Tata busana adalah seni pakaian dan segala perlengkapan
yang menyertai untuk menggambarkan
tokoh. Tata busana termasuk segala asesoris seperti topi, sepatu, syal,
kalung, gelang , dan segala unsur yang
melekat pada pakaian. Tata busana dalam
teater memiliki peranan penting untuk menggambarkan tokoh. Pada era teater
primitif, busana yang dipakai berasal dari bahan-bahan alami, seperti tumbuhan,
kulit binatang, dan batu-batuan untuk asesoris. Ketika manusia menemukan
tekstil dengan teknologi pengolahan yang tinggi, maka busana berkembang menjadi
lebih baik.
Busana yang dipakai manusia beraneka ragam bentuk dan fungsinya. Fungsi
busana dalam kehidupan sehari-hari untuk melindungi tubuh, mencitrakan
kesopanan, dan memenuhi hasrat manusia akan keindahan. Busana dalam teater
memiliki fungsi yang lebih kompleks, yaitu.
a.
Mencitrakan keindahan penampilan
b.
Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain
c.
Menggambarkan karakter tokoh
d.
Memberikan efek gerak pemain
e.
Memberikan efek dramatik
4. Tata Cahaya
`Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling penting
dalam pertunjukan teater. Tanpa adanya cahaya maka penonton tidak akan dapat
menyaksikan apa-apa. Dalam pertunjukan era primitif manusia hanya menggunakan
cahaya matahari, bulan atau api untuk menerangi. Sejak ditemukannya lampu
penerangan manusia menciptakan modifikasi dan menemukan hal-hal baru yang dapat
digunakan untuk menerangi panggung pementasan. Seorang penata cahaya perlu
mempelajari pengetahuan dasar dan penguasaan peralatan tata cahaya. Pengetahuan
dasar ini selanjutnya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam pelanataan cahaya
untuk kepentingan artistik pemanggungan.
Tata cahaya yang hadir di atas panggung dan menyinari
semua objek sesungguhnya menghadirkan kemungkinan bagi sutradara, aktor, dan penonton
untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan
gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala sesuatu yang akan
dikomunikasikan. Dengan cahaya, sutradara dapat menghadirkan ilusi imajinatif.
Banyak hal yang bisa dikerjakan bekaitan dengan peran tata cahaya tetapi fungsi
dasar tata cahaya ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir
(Mark Carpenter, 1988).
1)
Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata
cahaya. Lampu memberi penerangan pada pemain dan setiap objek yang ada di atas
panggung. Istilah penerangan dalam tata cahaya panggung bukan hanya sekedar
memberi efek terang sehingga bisa dilihat tetapi memberi penerangan bagian
tertentu dengan intensitas tertentu. Tidak semua area di atas panggung memiliki
tingkat terang yang sama tetapi diatur dengan tujuan dan maksud tertentu
sehingga menegaskan pesan yang hendak disampaikan melalui laku aktor di atas
pentas.
2)
Dimensi. Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek dapat
dicitrakan. Dimensi dapat diciptakan dengan membagi sisi gelap dan terang atas
objek yang disinari sehingga membantu perspektif tata panggung. Jika semua
objek diterangi dengan intensitas yang sama maka gambar yang akan tertangkap
oleh mata penonton menjadi datar. Dengan pengaturan tingkat intensitas serta
pemilahan sisi gelap dan terang maka dimensi objek akan muncul.
3)
Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk
menentukan objek dan area yang hendak disinari. Jika dalam film dan televisi
sutradara dapat memilih adegan menggunakan kamera maka sutradara panggung
melakukannya dengan cahaya. Dalam teater, penonton secara normal dapat melihat
seluruh area panggung, untuk memberikan fokus perhatian pada area atau aksi
tertentu sutradara memanfaatkan cahaya. Pemilihan ini tidak hanya berpengaruh
bagi perhatian penonton tetapi juga bagi para aktor di atas pentas serta
keindahan tata panggung yang dihadirkan.
4)
Atmosfir. Yang
paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya menghadirkan suasana
yang mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir” digunakan untuk menjelaskan
suasana serta emosi yang terkandung dalam peristiwa lakon. Tata cahaya mampu
menghadirkan suasana yang dikehendaki oleh lakon. Sejak ditemukannya teknologi
pencahayaan panggung, efek lampu dapat diciptakan untuk menirukan cahaya bulan
dan matahari pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, warna cahaya matahari pagi
berbeda dengan siang hari. Sinar mentari pagi membawa kehangatan sedangkan
sinar mentari siang hari terasa panas. Inilah gambaran suasana dan emosi yang
dapat dimunculkan oleh tata cahaya.
Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak berdiri
sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling
mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk
memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa. Gambar 203 memperlihatkan interaksi fungsi
pokok tata cahaya.
5. Tata Panggung
Tata panggung disebut juga dengan istilah scenery (tata
dekorasi). Gambaran tempat kejadian lakon diwujudkan oleh tata panggung dalam
pementasan. Tidak hanya sekedar dekorasi (hiasan) semata, tetapi segala tata
letak perabot atau piranti yang akan digunakan oleh aktor disediakan oleh
penata panggung. Penataan panggung disesuaikan dengan tuntutan cerita, kehendak
artistik sutradara, dan panggung tempat pementasan dilaksanakan. Oleh karena
itu, sebelum melaksanakan penataan panggung seorang penata panggung perlu
mempelajari panggung pertunjukan.
Dalam sejarah perkembangannya, seni teater memiliki
berbagai macam jenis panggung yang dijadikan tempat pementasan. Perbedaan jenis
panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta
gaya pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda memiliki prinsip
artistik yang berbeda. Misalnya, dalam panggung yang penontonnya melingkar,
membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat dari setiap sisi.
Berbeda dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari depan. Untuk
memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami karakter jenis
panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung tersebut.
6. TATA SUARA
Tata adalah suatu usaha pengaturan terhadap sesuatu
bentuk, benda dan sebagainya untuk tujuan tertentu. Suara adalah getaran yang
dihasilkan oleh sumber bunyi biasanya dari benda padat yang merambat melalui
media atau perantara. Perantara dapat berupa benda padat, cair, dan udara
kepada alat pendengaran. Tata suara adalah suatu usaha untuk mengatur,
menempatkan dan memanfaatkan berbagai sumber suara sesuai dengan etika dan
estetika untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk pidato, penyiaran,
reccording, dan pertunjukan teater.
Tata suara berakibat langsung pada pendengaran manusia.
Selaput pendengaran atau gendang telinga menerima getaran yang merambat melalui
udara sesuai degan besar kecilnya suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi atau
suara. Bentuk dari getaran tersebut adalah kerapatan dan kerenggangan udara
yang disebut dengan gelombang suara. Gelombang suara yang sampai pada rongga
telinga dapat menggetarkan selaput gendang pendengaran dan menimbulkan
rangsangan pada ujung-ujung syaraf pendengaran. Rangsangan getaran udara yang
berulang-ulang akan diteruskan ke pusat syaraf atau otak, apabila getaran yang
berasal dari sumber bunyi berhasil mencapai otak melalui alat pendengaran, maka
kita dapat mengatakan mendengar bunyi atau suara.
BAB 4
PESAN MORAL
PERTUNJUKAN TEATER
Pertunjukan teater khususnya teater tradisional mengandung pesan moral yang begitu
tinggi terhadap masyarakat pada
umumnya dan khususnya pada penonton.
Pesan moral ini dapat diketahui melalui
amanat-amanat dalam suatu cerita (naskah lakon) yang dipertunjukkan. Di dalam
cerita klasik seperti kisah Baratayuda dalam wayang kulit purwa Jawa. Dalam
kisah Baratayuda tersebut mengandung
pesan moral agar selalu menanamkan kebenaran dan kejujuran yang akan
mengalahkan kebatilan. Demikian juga kisah Ramayana, merupakan kisah
yang mengandung pesan moral yang tinggi. Tokoh Rama, Raja Ayodya
merupakan lambang kesucian dan kebenaran,
mengalahkan Rahwana, raja Alengka
yang sakti sebagai lambang kejahatan.
Kisah tersebut mengungkap pesan moral
agar setiap manusia selalu
mengedepankan kebenaran, kesucian dan kejujuran.
Pada dasarnya setiap pertunjukan teater
memiliki pesan moral dan untuk dapat mengungkapkan pesan moral yang
tepat dari pertunjukan hendaknya dalam menyaksikan pertunjukan karya teater secara cermat dan
penuh apresiatif.
Ada beberapa nilai yang terkandung
dalam seni drama atau seni teater, nilai-nilai
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
A. Nilai Moral
Nilai moral disini adalah
nilai yang berhubungan dengan
budi pekerti, etika dan susila. Setiap karya seni pasti mengandung nilai moral. Nilai moral yang ada di dalam karya seni,
khususnya karya teater, dapat mengubah sikap dan prilaku penontonnya. Kalau
nilai moralnya tinggi dapat membentuk perilaku penonton yang baik dan positif,
tetapi kalau nilai moralnya rendah dapat membentuk penonton memiliki perilaku yang kurang baik. Karya
teater tradisi memiliki nilai moral yang
sangat tinggi.
B. Nilai Budaya
Selain nilai moral, suatu karya teater juga mengandung
nilai budaya, termasuk karya teater tradisi.
Setiap karya teater yang dipertunjukkan
menampilkan budaya kehidupan masyarakat
di dalam cerita yang dipentaskan.
Penonton dapat melihat budaya kehidupan masyarakat dalam suatu cerita
yang dipentaskan, jika menonton pementasan itu secara lengkap dari awal hingga selesai. Memang nilai budaya
itu terkandung di seluruh rangkaian cerita. Tanpa menyaksikan secara lengkap,
tidak mungkin bisa mengungkapkan nilai budaya yang ada.
C. Nilai sosial
Nilai sosial atau kemasyarakatan suatu karya teater sangat erat hubungannya
dengan budaya yang ada dalam cerita yang
dipentaskan. Misalnya, suatu karya teater mengandung budaya gotong-royong, hal
itu berarti memiliki nilai kemasyarakatan yang tinggi, yakni masyarakatnya
memiliki sifat suka menolong, suka bekerjasama dan tidak egois. Jika karya
teater itu mengandung budaya pergaulan bebas, berarti masyarakatnya juga tidak
menghormati norma-norma yang ada. Nilai
budaya pada dasarnya merupakan kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat. Jika
kebiasaan masyarakat itu baik, berarti
memiliki nilai kebudayaan yang baik pula. Sebaliknya, jika memiliki
kebiasaan yang jelek, nilai budayanya juga rendah. Nilai budaya sekaligus mempengaruhi nilai
kemasyarakatan. Oleh karena itu penonton
perlu memiliki kepekaan yang
tinggi, jika ingin dapat mengungkapkan
nilai-nilai sosial budaya dengan benar.
D. Nilai Pendidikan / Pedagogis
Seni drama atau teater merupakan salah satu genre sastra
yang di dalamnya memiliki nilai pendidikan, baik secara umum yaitu pendidikan
kewarganegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Maupun secara khusus, yaitu
pendidikan moral, budi pekerti serta susila, dan pendidikan estetis. Hasil dari
pendidikan adalah perubahan sikap. Oleh karena itu, pertunjukan drama atau
teater dapat menghasilkan perubahan terhadap penonton. Setelah menonton pertunjukan teater
diharapkan memiliki moralitas yang tinggi dan budi pekerti yang luhur.
Karya teater benar-benar memiliki nilai pendidikan yang
tinggi, terutama pendidikan moral disamping pendidikan kewarganegaraan,
kebangsaan dan kemasyarakatan. Seperti yang telah diuraikan dimuka bahwa wayang
kulit purwa Jawa dan Ramayana sarat
dengan nilai moral dan
benar-benar memiliki nilai pendidikan yang tinggi. Pertunjukan teater sangat
cocok dikonsumsi oleh anak usia remaja karena mereka sedang mengalami
masa puber, memiliki rasa ego yang
tinggi, ingin menang sendiri, merasa dirinya yang paling benar, emosional,
sulit menghargai orang lain, dan cenderung tidak memiliki pegangan yang
tetap. Melalui pendidikan drama atau
teater di sekolah, akan dapat mengubah perilaku yang dimilikinya menjadi baik
dan terkontrol.
Oleh karena itu para siswa hendaknya secara intensif mementaskan dan
menyaksikan karya teater, terutama
teater tradisi sehingga selain dapat mengubah perilaku, juga dapat dengan tepat
mengungkapkan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.
E. Nilai Kemanusiaan / Humanisme
Manusia dan kemanusiaan menjadi problematik sentral dalam
kerja seni atau seni teater, maka seni drama atau teater adalah seni kolektif
yang sarat akan muatan nili-nilai humanisme. Pada dasarnya sebuah seni drama
atau seni teater yang termasuk dalam karya fiksi bertumpu pada penghayatan terhadap
sosok-sosok tokoh yang diciptakan, baik
secara langsung oleh pengarangnya maupun secara tidak langsung melalui
percakapan antar tokoh.
Didalam teater tradisional tersebut amatlah kaya akan nilai-nilai
humanisme, baik dalam tataran mikrokosmos maupun makrokosmos. Lakon-lakon yang
terdapat dalam serial Ramayana dan Mahabarata secara tematis filosofis sarat
akan muatan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua serial lakon perjuangan tersebut
secara filosofis dapat dimaknai sebagai perang melawan angkara murka, keserakahan,
ketamakan, kezaliman dan ketidakadilan. Tokoh-tokoh seperti Arjuna, Kresna,
Semar, Werkudara, Gatotkaca, Hanoman dan Puntadewa merupakan tokoh idola
masyarakat Jawa, bukan hanya karena kesaktiannya, tetapi juga nilai
kemanusiannya (humanisme).
F. Nilai Keindahan / Estetis
Karya teater merupakan salah satu karya sastra yang
didalamnya mengandung nilai-nilai estetis yang bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya dan penonton pada khususnya. Keindahan di sini memiliki cakupan yang
luas dan bermanfaat, yaitu keindahan moral, keindahan susila, keindahan akal,
dan keindahan alami. Bagi orang yang menyaksikan karya teater, khususnya karya
teater tradisi, akan dapat menikmati keindahan yang ada di dalamnya dan
akhirnya mendapatkan kepuasan bathin.
Seni drama atau teater merupakan tempat bertemunya
berbagai cabang seni, yaitu seni musik, seni tari, seni suara, seni panggung,
seni lukis dan seni peran. Perpaduan
seni tersebut membawa suatu keindahan akali yang benar-benar menarik dan
menjadi kepuasan bathin
Contoh Soal UAS
semester Ganjil
1.
Berusaha mengerti
tentang seni dan menjadi peka terhadap
segi-segi di dalamnya sehinga secara sadar mampu menikmati dan menilai karya dengan semestinya, disebut :
a.
Mengapresiasi b.
Menonton
c. Melihat d. Menilai e. Mengkritik
2.
Hasil pemikiran, karya dan segala aktivitas (bukan
perbuatan), yang merefleksikan naluri secara murni adalah definisi
dari :
a.
Kebudayaaan b. Seni c. Apresiasi d. Etika
e. Estetika
3.
Kenikmatan seni bukanlah
kenikmatan fisik lahiriah, melainkan kenikmatan:
a. Rohani b.
Jasmani c. Batiniah d. Estetika e. Spiritual
4.
Nilai yang muncul bila kita menangkap dan merasakan
simbol-simbol estetika dari penggubah
seni disebut dengan nilai :
a. Rohani b.
Jasmani c. Batiniah d. Estetika e. Spiritual
5.
Seni adalah
penciptaan benda atau segala hal
yang karena keindahan bentuknya, orang senang melihat atau mendengar. Istilah
tersebut pendapat dari:
a.
Ensiklopedia
Indonesia b.
Ki Hajar Dewantara c. Aristoteles
d.
Schopenhauer e.
Thomas Munro
6.
Seni adalah suatu
usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Meskipun musik adalah
seni yang paling abstrak, tapi tiap orang menyukainya. Istilah
tersebut pendapat dari :
a.
Ensiklopedia Indonesia b. Ki Hajar
Dewantara c. Aristoteles
d. Schopenhauer e.
Thomas Munro
7.
Seni adalah alat
buatan manusia (penggubah) untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia
lain (penerima) yang melihatnya. Efek-efek tersebut mencakup segala tanggapan
yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang rasional maupun yang
emosional.Istilah tersebut pendapat dari :
a.
Ensiklopedia Indonesia b. Ki Hajar
Dewantara c. Aristoteles
d. Schopenhauer e.
Thomas Munro
8.
Cabang seni rupa bentuk medianya adalah :
a.
Benda
b.
Tulisan
c.
Tubuh manusia, gerak dan musik
d. Suara,
benda, manusia dan gerak proses
e. Manusia,
benda/alam, akting, adegan, suara atau musik
9.
Cabang seni teater bentuk medianya manusia, benda/alam,
akting, adegan, suara atau musik
a.
Benda
b.
Tulisan
c.
Tubuh manusia, gerak dan musik
d. Suara,
benda, manusia dan gerak proses
e. Manusia, benda/alam, akting, adegan,
suara atau musik
10.
Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal dari
pengamatan yang menimbulkan rasa senang. Definisi tersebut pendapat dari :
a.
Al Ghazali b.
Alexander Baumgarten c. Herbert
Read
d. Immanuel
kant e. Zulser
11.
Manusia memiliki kelebihan berupa akal pikiran, kalbu,
emosi, nafsu, dan kemampuan membuat sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran
untuk membuat sesuatu (kreasi) yang baru, baik, nyata atau abstrak disebut
a.
Kreativitas b.
Ekspresi c. Pengalaman
d. Menikmati e. Melihat
12. Sesuatu
yang lain dari pada yang lain, yang belum pernah dibuat orang sebelumnya, baik
dalam hal ide, teknik, dan media, merupakan ciri khusus proses kreasi seni yang :
a.
Unik b. Individual
(pribadi) c. Ekspresif
d. Universal e.
Survival (tahan lama)
13.
Karya seni merupakan hasil curahan bathin berupa
penjabaran dari ide, renungan, perasaan, atau pengalaman seniman, merupakan ciri
khusus proses kreasi seni yang:
a. Unik b. Individual
(pribadi) c. Ekspresif
d. Universal e. Survival (tahan
lama)
14. Teater berasal
dari kata Yunani, yaitu :
a. Theatron b. Neotron c. Proton
d. Theather e. Teateron
15.
Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh raja dari Kasunanan Surakarta yaitu Sri Paduka
Mangkunegoro ke :
a.
V b.
VI c. VII d. VIII e. IX
16. Penulis lakon Ken
Arok danKen Dedes (1934) adalah :
a.
Rustam Efendi b. Sanusi Pane
c. Muhammad Yamin
d. Armijn Pane e. Sutan Takdir Alisjabana
17.
Putu Wijaya merupakan tokoh
teater Indonesia yang mendirikan kelompok teater :
a. Teater Mandiri b.
Teater populer c. Teater
Kecil
d. Teater Koma e.
Studyclub teater Bandung
18.
N. Riantiarno merupakan tokoh teater Indonesia yang mendirikan
kelompok teater:
a. Teater Mandiri b.
Teater populer c. Teater
Kecil
d. Teater Koma e. Studyclub teater Bandung
19.
Pertunjukan
wayang sudah ada tahun 907 Masehi sejak
jaman pemerintahan :
a. Raja Balitung b. Raja Kertanegara c. Prabu Brawijaya
d. Raja Jayakatwang e.
Raja Arya Wiraraja
20.
Di
Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda dengan yang
berkembang di Jawa Tengah, yaitu dikenal dengan sebutan :
a.
Wayang
Dalang b. Topeng Dalang c. Topeng
d. Wayang klitik e. Wayang wong
21.
Makyong
merupakan suatu jenis teater tradisional yang berkembang didaerah :
a.
Jawa Timur b. Aceh c. Papua d. Riau e.
Madura
22.
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang terdapat di
daerah:
a.
Aceh b. Sasak c. Manado d.
Minangkabau e. Riau
23.
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang
paling populer adalah:
a.
Randai b. Ludruk c. Wayang d. Mamanda e.
Randai
24.
Longser
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di:
a.
Sunda b.
Madura c. Betawi d. Banten e.
Yogyakarta
25.
Ubrug
merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah:
a.
Sunda b.
Madura c. Betawi d.
Banten e. Yogyakarta
26.
Unsur estetis sebuah pertunjukan teater merupakan keindahan yang bermanfaat, yaitu
keindahan :
a.
Moral b. Susila c.
akal d. Alami e. Semuanya betul
27.
Teater daerah atau tradisional merupakan karya seni yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan teater daerah setempat
dapat dilihat dari, kecuali :
a.
Bentuk penyajiannya b. Gerak fisiknya c. Latar serta settingnya
d. Irama musiknya e.
Tradisinya
28.
Tempat untuk mempertunjukkan permainan aktor atau pemain
disebut :
a.
Panggung b. Lapangan c.
Sketsel d. Auditorium e. Arena
29.
Tempat bagi penonton
yang menyaksikan pertunjukan
disebut :
a.
Panggung b. Lapangan c.
Sketsel d. Auditorium e. Arena
30.
Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur
utama teater adalah, kecuali :
a.
Naskah lakon b.
Setting c. Sutradara d.
Pemain e. Penonton
31.
Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya
mempunyai struktur yang jelas, yaitu , kecuali :
a.
Dialog b.
Tema c. Plot d. Setting e.
Tokoh
32.
Orang yang menghidupkan kejadian atau peristiwa yang
dibuat oleh penulis naskah disebut :
a.
Pemain b.
Tokoh c. Peran d. Casting e. Sutradara
33.
Siapa tokoh teater yang menggariskan tiga asas kesatuan
dalam teater, yaitu asas kesatuan waktu, tempat, dan lakon :
a.
Plato b.
Rendra c. Aristoteles d. Agusto Comte e.Sopochles
34.
Pembagian plot saat memperkenalkan dan membeberkan
materi-materi yang relevan atau memberi informasi pada penonton tentang masalah yang dialami atau konflik
yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di lakon disebut :
a.
Krisis b.
Klimaks c. Resolusi d. Eksposisi e.
Aksi pendorong
35.
Pembagian plot saat proses penempatan kembali kepada
suasana baru. Bagian ini merupakan kejadian akhir dari lakon dan terkadang
memberikan jawaban atas segala persoalan dan konflik-konflik yang terjadi
disebut :
a.
Krisis b. Klimaks c. Resolusi d. Eksposisi e. Aksi pendorong
36.
Tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata
suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai
pertunjukan disebut :
a.
Unsur estetik b.
Unsur artistik c. Panggung
d. Naskah Lakon e.
Asesoris pertunjukan
37.
Pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan
berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton
tetapi juga menghidupkan pemeranan dan
suasana panggung disebut :
a.
Tata Panggung b.
Tata Busana c. Tata Rias
d. Tata cahaya e.
Tata Musik
38.
Pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang
fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan,
sehingga menimbulkan suasana istimewa, disebut :
a.
Tata Panggung b. Tata Busana c. Tata Rias
d. Tata cahaya e. Tata Musik
39.
Tata rias dalam teater memiliki fungsi sebagai berikut,
kecuali :
a.
Menyempurnakan penampilan wajah dan Menggambarkan karakter tokoh
b.
Memberi efek gerak pada ekspresi pemain
c.
Menegaskan dan menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
d.
Menambah aspek dramatik
e.
Membuat wajah kelihatan lebih cantik
40.
Busana dalam teater memiliki fungsi yang lebih kompleks,
yaitu kecuali :
a.
Mencitrakan keindahan penampilan
b.
Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain
c.
Menggambarkan karakter tokoh dan Memberikan efek gerak
pemain
d.
Menambah ketertarikan penonton
e.
Memberikan efek dramatik
41.
Fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu kecuali :
a.
Penerangan b.
Pencahayaan c. Dimensi d.
Pemilihan e. Atmosfir
42.
Nilai yang berhubungan
dengan budi pekerti, etika dan susila, disebut :
a.
Nilai moral b. Nilai Budaya c.
Nilai Sosial
d. Nilai Pendidikan e. Nilai Humanisme
0 komentar:
Posting Komentar