Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 13 November 2013

Diposting oleh AENG TASEK





BAB 1

1. PENGERTIAN DAN DEFINISI SENI
Mengapresiasi artinya berusaha  mengerti tentang seni  dan menjadi peka terhadap segi-segi di dalamnya, sehinga secara sadar mampu menikmati dan  menilai karya dengan semestinya.
Seni adalah salah satu unsur kebudayaan  yang tumbuh dan berkembang  sejajar dengan perkembangan  manusia selaku penggubah  dan penikmat seni.
Kebudayaan adalah hasil pemikiran, karya dan segala aktivitas (bukan perbuatan), yang merefleksikan naluri secara murni.
Seni memiliki nilai estetis (indah) yang disukai  oleh manusia  dan mengandung ide-ide yang dinyatakan dalam bentuk  aktivitas atau  rupa sebagai lambang.
Dengan seni  kita dapat memperoleh kenikmatan  sebagai akibat dari refleksi perasaan terhadap stimulus  yang kita terima. Kenikmatan seni bukanlah  kenikmatan fisik lahiriah, melainkan kenikmatan batiniah  yang muncul bila kita menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika dari penggubah  seni. Dalam hal ini seni memiliki nilai spiritual.
Kedalaman dan kompleksitas seni menyebabkan  para ahli membuat definisi seni untuk mempermudah pendekatan kita dalam memahami  dan menilai seni. Konsep yang muncul bervariasi sesuai dengan latar belakang pemahaman, penghayatan,  dan pandangan ahli tersebut  terhadap seni.

Beberapa definisi tersebut antara lain :

1.   Ensiklopedia Indonesia
Seni adalah  penciptaan benda atau segala hal  yang karena keindahan bentuknya, orang senang melihat atau mendengar.

2.   Ki Hajar Dewantara
Seni merupakan perbuatan manusia (penggubah) yang timbul dari perasaannya  dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan  jiwa dan perasaan manusia (penerima).

3.   Achdiat Kartamihardja
Seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan  realitas ke dalam suatu karya. Bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam batin penerimanya.

4.   Aristoteles
Seni adalah peniruan bentuk alam dengan kreatifitas  dan ide penggubahnya agar lebih indah.

5.   Leo Tolstoy
Seni adalah suatu kegiatan manusia  (penggubah) yang secara sadar dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain (penerima) sehingga ikut merasakan perasaan-perasaan seperti yang  ia (penggubah) alami.

6.   Schopenhauer
Seni adalah  suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Meskipun musik adalah seni yang paling abstrak, tapi tiap orang menyukainya.

7.   Thomas Munro
Seni adalah  alat buatan manusia (penggubah) untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain (penerima) yang melihatnya. Efek-efek tersebut mencakup segala tanggapan yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang rasional maupun yang emosional.

2. CABANG-CABANG SENI
Berdasarkan realita yang berkembang di masyarakat, seni digolongkan menjadi 5 cabang yang memiliki kesatuan dan keterkaitan.
1)     Cabang seni rupa bentuk medianya benda.
2)     Cabang seni sastra bentuk medianya tulisan
3)     Cabang seni musik bentuk medianya suara, benda, manusia dan gerak proses
4)     Cabang seni tari bentuk medianya tubuh manusia, gerak dan musik
5)     Cabang seni teater bentuk medianya manusia, benda/alam, akting, adegan, suara atau musik

3. SENI SEBAGAI ESTETIKA

Estetika berada di luar lingkup logika ataupun etika. Definisi menurut para ahli sebagai langkah pendekatan memahaminya antara lain sebagai berikut.

1.           Al Ghazali
Keindahan suatu benda terletak pada perwujudan dari kesempurnaan karakteristik benda itu dan ditambah dengan adanya jiwa atau roh di dalamnya.

2.   Alexander Baumgarten
Keindahan itu dipandang sebagai kesatuan yang merupakan susunan yang teratur dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain secara keseluruhan.

3.   Herbert Read
Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal dari pengamatan yang menimbulkan rasa senang.

4.   Immanuel kant
Keindahan ditinjau dari dua sisi, yaitu:
Objektif : Keindahan adalah keserasian suatu objek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi.

Subjektif : Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dengan logika dan konsep dan tanpa disangkutpautkan dengan kegunaan praktis dapat mendatangkan rasa senang pada si penghayat.

5.   Zulser
Keindahan adalah sesuatu yang baik dan dapat memupuk rasa moral.

6.   Thomas Aquines
Keindahan akan terbentuk jika memenuhi 3 syarat, yaitu adanya :
a.     Integritas (kesatuan) atau kesempurnaan,
b.     Proporsi yang tepat dan harmonis.
c.      Klaritas (kejelasan).

Penganut teori objektif menempatkan rasa estetis lebih utama sehingga memliki konsep, pola pikir, atau alasan logis mengapa sesuatu itu dikatakan indah. Penganut teori subjektif meletakkan keindahan secara pribadi dalam diri si penikmat karya seni sehinga tidak dapat memberi alasan mengapa sesuatu itu dikatakan indah.
Keindahan seni adalah keindahan ekspresi, kreasi seniman. Jadi, pemandangan alam bukan keindahan seni

4. SENI SEBAGAI KREATIVITAS
Manusia memiliki kelebihan berupa akal pikiran, kalbu, emosi, nafsu, dan kemampuan membuat sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran untuk membuat sesuatu (kreasi) yang baru, baik, nyata atau abstrak disebut kreativitas. Proses kreasi seni mempunyai ciri khusus antara lain seperti dibawah ini.

a.   Unik
Unik artinya sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang belum pernah dibuat orang sebelumnya, baik dalam hal ide, teknik, dan media. Alangkah baiknya jika karya senimu adalah hasil kreasimu sendiri, bukan mencontoh dari yang sudah ada. Karya lain dapat digunakan sebagai pemicu munculnya gagasan. Kembangkanlah gagasan tersebut menjadi sesuatu yang unik dan baru. Dengan demikian, kreativitasmu akan terasah.                            
b.   Individual (pribadi)
`Artinya memiliki kekhususan ciri dari seniman pembuatnya, yang berbeda dengan seniman lain karena perbedaan pandangan, penghayatan, pengalaman, dan tehnik dalam membuat karya seni. Bandingkanlah karyamu dengan  karya temanmu. Objek yang dipakai sebagai pemicu gagasan seni bisa jadi sama. Tapi karena pandangan, penghayatan, pengalaman, dan teknik yang berbeda, hasilnya tentu akan berbeda.

c.    Ekspresif
Karya seni merupakan hasil curahan bathin berupa penjabaran dari ide, renungan, perasaan, atau pengalaman seniman. Seni yang tanpa curahan bathin seolah-olah kering dan tak dapat menyentuh perasaan yang menikmatinya.

d.   Universal
Karya seni dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bangsa, dan generasi karena adanya persamaan rasa estetik dan artistik.

e.   Survival (tahan lama)
Nilai seni dalam suatu karya seni dapat dinikmati sepanjang masa karena nilai estetikanya bersifat konsisten. Contohnya, karya seni peninggalan zaman kuno, masih bisa kita nikmati sekarang.

5. FUNGSI DAN TUJUAN SENI
Menurut antropologi, kesenian adalah salah satu unsur budaya manusia. Kita dapat merasakan dalam pengalaman hidup sehari-hari, betapa kita sangat membutuhkan sarana berekspresi dan menikmati keindahan dalam berbagai bentuk.
Berdasarkan fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan, seni dipilah menjadi beberapa kelompok.

1. Fungsi Individual
Manusia terdiri dari unsur fisik dan psikis. Salah satu unsur psikis adalah emosi. Maka fungsi individual ini dibagi menjadi fungsi pemenuhan kebutuhan seni secara fisik dan psikis / emosional.

a.     Fisik
Fungsi ini banyak dipenuhi melalui seni pakai yang berhubungan dengan fisik. Seperti busana, perabot, rumah, musik senam, dan sebagainya.

b.     Emosional
Dipenuhi melalui seni murni, baik dari segi si pembuat / penggubah, maupun konsumen penikmat. Contohnya, lukisan, novel, musik, tari, film, dan sebagainya.

2. Fungsi Sosial
Fungsi sosial artinya dapat dinikmati dan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak dalam waktu relatif bersamaan. Fungsi ini dikelompokkan menjadi beberapa bidang.

a.     Religi / keagamaan
Karya seni dapat dijadikan ciri atau pesan keagamaan. Contoh: kaligrafi, busana muslim, arsitektur atau dekorasi rumah ibadah, lagu-lagu rohani.



b.     Rekreasi/hiburan
Seni dapat dijadikan sebagai sarana melepas kejenuhan atau mengurangi kesedihan. Hal itu dapat terjadi misalkan pada saat kita menyaksikan musik, tarian,
film, dan lawak.     

c.     Komunikasi
Seni dapat digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu, seperti pesan, kritik, kebijakan, gagasan, dan produk kepada orang banyak. Contoh: lagu balada, poster, drama komedi, dan reklame. Tema yang sering dibuat antara lain:
a)            Ketidakdisiplinan anggota masyarakat terhadap lingkungan.
b)           Himbauan melaksanakan program pemerintah.
c)            Anjuran kesehatan / kesejahteraan.
d)           Ketidakadilan suatu kebijakan.

d.     Pendidikan
Pendidikan juga memanfaatkan seni sebagai sarana penunjangnya. Contoh: gambar ilustrasi buku pelajaran, film ilmiah atau dokumenter, poster ilmiah, lagu anak-anak dan foto.




BAB 2

1.    PENGERTIAN TEATER MODERN
Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place)yang artinya tempat atau gedung  pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya (Harrymawan, 1993). Namun demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”. Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan drama adalah sebagai berikut.
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilahteater. Yang ada adalah sandiwaraatau tonil(dari bahasa Belanda: Het Toneel). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006).Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).

A. Asal Mula Teater
Waktu dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
1.     Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang. 
2.     Berasal dari nyanyian untuk menghormatiseorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
3.     Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya).
Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang  pendeta Mesir,  I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah  mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.
I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga  terkenal sebagai Naskah Abydos yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik. Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam  relief kuburan yang lebih tua. Para ahli bisa memperkirakan bahwa jalan cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM. Meskipun baru muncul sebagai naskah  tertulis di tahun 2000 SM. Dari hasil penelitian  yang dilakukan  diketahui juga bahwa   pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater  yang meliputi  pemain, jalan cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu juga properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.

B. Teater Modern
1. Teater Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud  cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi.  Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.
Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung  Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboeldi Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yangberjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan  muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21  Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan,  Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilahteater. Yang ada adalahsandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.

2. Teater  Indonesia tahun 1920-an
          Teater pada masa kesusasteraaan angkatan  Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari(artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi(1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Panemenulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning  Majapahit (1933) Muhammad Yaminmenulis Ken Arok danKen Dedes (1934). Armiijn Panemengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama.  Nur Sutan Iskandarmenyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil.Imam Supardimenulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.  Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan  serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia,  menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain,  Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.

3. Teater Indonesia tahun 1940-an
          Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaituAnjar Asmaradan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia,  ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman  dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia,Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.
          Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni  hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna,dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain  Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang NyooCheong Seng, yang dikenal  dengan nama samarannya Mon Siour D’amour  ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija,  R.A Murdiati,dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti  pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul kemudian muncul  rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Madadengan suaminya Ferry Kok, yang  sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena  Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, danRencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola  pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian  Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. cerita-cerita yang dipentaskan  antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani,dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari  rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang  menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut  mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata.  Kama Jaya  menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malamdan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional  tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang  menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai  berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis  Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsenditerjemahkan dan judulnya diganti  dengan Jinak-jinak Merpati oleh  Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya.  Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal  dikenalkannya  naskah dalam setiap pementasan  sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944)  pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma   dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu  dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi  pemicu berdirinya Akademi Teater NasionalIndonesia di Jakarta.

4. Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang  kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang  kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka  merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa  perang secara khas dilukiskan dalam lakonFajar Sidik(Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir(Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit  karyaAverchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karyaJohn Galsworthy. Utuy Tatang Sontani  dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon   Awal dan Mira (1952)  tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi  pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat  dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)pada tahun 1955  oleh Usmar Ismaildan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme  dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta  tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

5. Teater Indonesia Tahun 1970-an
          Jim lim  mendirikan Studiklub Teater Bandung dan  mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater  Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The GlassMenagerie(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung  Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962  Jim Lim menggabungkan unsur  wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul  Pangeran Geusan Ulun(Saini KM., 1961). Mengadaptasi  lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadiJakaTumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi  isinya absurditas pada lakon Caligula(Albert Camus, 1945), Badak-badak(Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim  belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun,salah satu aktor dan juga teman Jim Lim,melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan  realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendrakembali ke Indonesia.  Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya  yangkemudian menciptakan  pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu  meningkatnya aktivitas, dan kreativitas  berteater  tidak hanya di Jakarta,  tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul  lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur,  juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artauddan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat  Malang).  Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim.  Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul  tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi  Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi  sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.

6. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan  politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian  merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik,  Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik.  Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan  dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di  Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di  Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta  muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula  Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.
BAB 3

TEATER TRADISIONAL
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya barumerupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya.  Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda,tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

   A.  Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan  wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karyaMpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.  Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun  930.  Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa.  Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba.  Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal  (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.

B.  Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional  dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud  pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

 C.  Makyong

Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan.  Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu.  Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.


D.  Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
1.     Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam,  dendang  dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
2.     Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.

E.  Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang  orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat.  Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan BadaMoeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.

F.  Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan  lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau.  Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia)  terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi,  lenong,  topeng blantek,  dan   jipeng atau jinong.Pada kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.

G.  Longser
Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.

H. Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah  Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang  (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural  sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.


I.  Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut  gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggah-ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
1.   Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
2.   Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
3.   Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.

J.  Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat.Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang di­gunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.

K.  Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.

Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.

L.  Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.


M. Topeng Dhalang
Pertunjukan topeng sebagai genre kesenian mandiri, yaitu pertunjukan musikal dengan topeng clan tarian, disutradarai hanya oleh seorang pencerita, yakni dhalang. Oleh karena itu, pertunjukan topeng sering disebut topeng dhalang, untuk membedakannya dari pertunjukan topeng lain yang tidak menggunakan dhalang. Kadang‑kadang ada pelawak bertopeng setengah muka turut berbicara‑karena mulut mereka bebas‑tetapi sernua tokoh lain diwakili oleh suara dhalang, seperti di dalarn pertunjukan wayang kulit (itulah sebabnya pertunjukan topeng ini disebut juga wayang topeng).

a. Panggung Pertunjukan
Dhalang duduk bersila di antara pemusik gamelan dan tidak terlihat oleh penonton karena disekat oleh kain yang dicat. Dialah yang menuntun penari topeng yang sedang berpentas di sebelah kain itu, di depan penonton. Para penari itu memberikan raga yang hidup, walaupun bertopeng, kepada suara dhalang yang berubah‑ubah dan mereka bergerak dengan memberi kesan bahwa mereka adalah boneka wayang yang hidup.



BAB 3

APRESIASI TERHADAP UNSUR ESTETIS PERTUNJUKAN TEATER TRADISIONAL

Unsur estetis sebuah pertunjukan  teater merupakan  keindahan yang bermanfaat, yaitu keindahan moral, keindahan susila, keindahan akal dan keindahan alami. Untuk dapat menemukan unsur–unsur estetis  pertunjukan teater tradisional  di suatu daerah perlu  mengadakan pengamatan terhadap pertunjukan-pertunjukan teater tradisional  tersebut.  Estetis suatu teater tradisional dapat dilihat atau ditemukan  pada bentuk penyajiannya, irama musiknya, gerak fisiknya (misalnya ketentuan tubuh dalam acting), cara penyajiannya, dan setting atau latarnya. Masih ada hal-hal lain yang menjadi unsur estetis pertunjukan teater.
Apresiasi terhadap teater daerah yang bersifat tradisional dapat dimulai dengan menemukan keunikan  teater setiap daerah  dan latar atau setting teater daerah tersebut.


A.      Keunikan dan Latar atau Setting Teater Tradisional
a. Keunikan karya Seni Teater Tradisi
Teater daerah atau tradisional  merupakan karya seni  yang memiliki keunikan  tersendiri. Keunikan teater daerah setempat dapat dilihat :
1). Bentuk penyajiannya
2). Cara penyajiannya
3). Gerak fisiknya
4). Latar serta settingnya
5). Irama musiknya.
Selain kelima hal tersebut di atas, masih ada hal-hal lain yang menjadikan keunikan teater daerah setempat, tergantung  jenis teater daerah itu sendiri. Oleh karena itu,  dalam sebuah apresiasi perlu adanya pengamatan secara seksama terhadap  pertunjukan-pertunjukan teater daerah setempat sehingga dapat menunjukkan keunikan-keunikan dengan baik dan tepat.

b. Latar dan Setting Teater Tradisional
Latar merupakan penggambaran suasana pertunjukan teater atau pementasan drama.  Latar ini mencakup dekorasi  dan tata lampu (lighting), tata rias, dan musik atau iringan. Latar ini dapat memberikan penjelasan pada penonton tentang suasana yang ada dalam suatu adegan yang sedang berlangsung.
Setting merupakan tempat pertunjukan teater berlangsung, dalam hal ini panggung atau pentas. Setting atau tempat juga merupakan  salah satu unsur pokok  dalam teater atau drama. Tanpa ada tempat, suatu drama tidak mungkin terjadi. Walaupun ada, itu hanyalah drama bacaan. Setting  itu bisa hanya berupa ruang yang terbuka yang sederhana sekali bentuknya, seperti yang ada pada teater-teater daerah, sampai gedung-gedung teater yang megah dan indah. Akan tetapi bagaimana bentuknya tempat harus ada bagi  para pemain yang mempertunjukkan permainannya yang disebut panggung atau pentas, dan tempat bagi penonton  yang menyaksikan pertunjukan  itu disebut auditorium.
Susunan latar dan setting teater daerah, dalam hal ini teater tradisional, masih sederhana bentuknya. Latar dan setting daerah disamping bentuknya tetap, juga ada yang mengalami perubahan dan perkembangan. Misalnya ketoprak, suatu teater daerah Jawa yang pada awal mula mengambil  tempat yang luas, seperti di lapangan dengan posisi melingkar. Penonton menikmatinya dengan duduk jongkok, atau berdiri mengelilinginya. Ketoprak seperti ini dinamakan  ketoprak Ongkek. Iringan tarian sebagai latar dari teater ongkek ini menunjukkan kesederhanaannya. Terutama tari, masih menggunakan tari yang sederhana, sekedar mengikuti irama gamelan saja. Seiring dengan perkembangan ketoprak, latar dan setting juga mengalami perkembangan dan perubahan.  Tempat tidak lagi menggunakan lapangan, tetapi sudah menggunakan gedung pertunjukan, yang didalamnya terdapat panggung, tempat pemain dan dilengkapi dengan dekorasi dan layar yang berfungsi  sebagai pendukung suasana pertunjukan.  Dari adegan satu ke adegan lain ada pergantian layar yang sesuai dengan adegan yang sedang berlangsung. Di dalam gedung itu juga terdapat  auditorium  sebagai tempat penonton. 


2.  UNSUR ESTETIKA DALAM TEATER
Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan. Untuk mendukung unsur pokok tersebut diperlukan unsur tata artistik yang memberikan keindahan dan mempertegas makna lakon yang dipentaskan

A.   Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah lakon yang  merupakan bentuk tertulis dari cerita drama yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan kedalam pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasi tersebut karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain, dan tata artistik.
          Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema, plot, setting, dan tokoh. Akan tetapi,  naskah lakon  yang khusus dipersiapkan untuk dipentaskan  mempunyai struktur lain yang spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang membagi menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik
Teater  memiliki sekurang-kurangnya empat unsur penting  dalam setiap pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang ditampilkan, bisa berwujud sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak tertulis (dalam teater kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan lakon tersebut. Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung. Keempat, penonton adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari kemerdekaannya untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon dan menikmatinya.
Lakon ditulis oleh seorang penulis naskah lakon berdasarkan apa yang dilihat, apa yang dialami, dan apa yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh orang lain. Penulis kemudian menyusun rangkaian kejadian, semakin lama semakin rumit, sehingga pada puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita. Penting sekali bahwa dalam  menyusun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa seorang penulis haruslah bersabar untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian lain dalam suatu perkembangan yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat sehingga akhirnya ia sampai ke puncak yang disebut klimaks.
Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kejadian atau peristiwa yang saling mengkait. Kedua, tokoh atau peran yang terlibat dalam kejadian-kejadian dalam lakon. Peristiwa atau kejadian dibuat oleh penulis naskah sebagai kerangka besar yang mendasari terjadinya suatu lakon. Peristiwa dalam lakon bisa rumit bisa juga sederhana. Tidak ada acuan yang pasti terhadap peristiwa atau kejadian dalam lakon yang bisa dianggap menarik. Jadi, kalau ada anggapan bahwa semakin rumit peristiwa atau kejadian dalam lakon semakin menarik adalah anggapan yang salah, karena peristiwa membutuhkan tokoh sebagai pelaku. Tokoh adalah orang yang menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah. Jadi dalam lakon ada dua hal penting  yang diciptakan oleh seorang penulis lakon, yaitu kejadian dan tokoh yang terlibat dalam kejadian.
Penulis lakon dalam menciptakan kejadian yang bertolak dari suatu cerita mungkin tidak akan mengalami kesulitan. Akan tetapi, mencipta seorang tokoh yang logis dengan latar belakang masa lampau, hari ini, cita-cita, dan pandangannya bukan suatu hal yang gampang. Seorang tokoh yang tidak masuk akal biasanya tidak akan dimengerti atau dirasakan oleh  penonton karena tokoh itu terlalu jauh dari realitas kehidupan. Seorang penulis dapat menciptakan tokoh dengan menggunakan kaidah Aristoteles, bahwa realitas adalah prinsip kreatif. Maka menciptakan kembali prinsip kreatif yang lebih sempurna dari yang ada atau dengan kata lain menciptakan manusia sebagaimana seharusnya bukan sebagaimana adanya adalah suatu kreativitas yang tidak menyimpang dari realitas itu sendiri. Hal ini biasanya digunakan oleh penulis lakon dalam mencipta tokoh-tokoh yang karikatural, yang aneh tetapi masuk akal.
Naskah lakon atau biasa disebut skenario adalah hal pertama yang berperan sebelum sampai ke tangan sutradara dan para pemeran. Naskah lakon merupakan penuangan ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan lakon. Seorang penulis lakon dalam proses berkarya biasanya bertolak dari sebuah tema. Tema itu kemudian disusun dan dikembangkan menjadi sebuah cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa yang memiliki alur yang jelas dan tokoh-tokoh yang berkarakter. Meskipun sebuah naskah lakon bisa ditulis sekehendak penulis, tetapi harus memperhitungkan atau berpegang pada asas kesatuan (unity).
Aristoteles (384-322 SM) menggariskan tiga asas kesatuan dalam teater, yaitu asas kesatuan waktu, tempat, dan lakon. Seni teater adalah seni ephemeral artinya pertunjukan bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Karena peristiwa-peristiwa yang ditampilkan di atas pentas menggambarkan kejadian-kejadian yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan selesai dalam waktu yang singkat maka harus jelas karakteristiknya, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.

1. Tema
Tema ada yang menyebutnya sebagai premis, root idea, thought, aim, central idea, goal, driving force dan sebagainya. Seorang penulis terkadang mengemukakan tema dengan jelas tetapi ada juga yang secara tersirat. Akan tetapi, tema harus dirumuskan dengan jelas, karena tema merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh seorang penulis lakon.  Ketika tema tidak terumuskan dengan jelas maka lakon tersebut akan kabur dan tidak jelas apa yang hendak disampaikan.
Pengarang atau penulis lakon menciptakan sebuah lakon bukan hanya sekedar mencipta, tetapi juga menyampaikan suatu pesan tentang persoalan kehidupan manusia. Pesan itu bisa mengenai kehidupan lahiriah maupun batiniah. Keunggulan dari seorang pengarang ialah, dia mempunyai kepekaan terhadap lingkungan sekelilingnya, dan dari lingkungan tersebut dia menyerap segala persoalan yang menjadi ide-ide dalam penulisan lakonnya. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu zamannya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989). Ide-ide, pesan atau pandangan terhadap persoalan yang ada dijadikan ide sentral atau tema dalam menulis naskah lakonnya.
Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994). Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini mungkin bisa diuraikan sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan: topik, ide utama atau pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983). Adhy Asmara (1983) menyebut tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang ada dalam naskah lakon dan ini menentukan arah jalannya cerita.
Tema dalam naskah lakon ada yang secara jelas dikemukakan dan ada yang samar-samar atau tersirat. Tema sebuah lakon bisa tunggal dan bisa juga lebih dari satu. Tema dapat diketahui dengan dua cara :
1)   Apa  yang diucapkan tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
2)   Apa yang dilakukan tokoh-tokohnya.

2. Plot
Plot (ada yang menyebutnya sebagai alur) dalam pertunjukan teater mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan pola pengadeganan dalam permainan teater, dan merupakan dasar struktur irama keseluruhan permainan. Plot  dapat dibagi berdasarkan babak dan adegan atau berlangsung terus tanpa pembagian. Plot merupakan jalannya peristiwa dalam lakon yang terus  bergulir hinga lakon tersebut selesai. Jadi plot merupakan susunan peristiwa lakon yang terjadi di atas panggung.
Plot menurut  Panuti Sudjiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk naskah drama atau lakon) untuk mencapai efek-efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan atau komplikasi) ke arah klimaks penyelesaian. Menurut J.A. Cuddon dalam Dictionary of Literaray Terms (1977), plot atau alur adalah kontruksi atau bagan atau skema atau pola dari peristiwa-peristiwa dalam lakon, puisi atau prosa dan selanjutnya bentuk peristiwa dan perwatakan itu menyebabkan pembaca atau penonton tegang dan ingin tahu. Plot atau alur menurut Hubert C. Heffner, Samuel Selden dan Hunton D. Sellman dalam Modern Theatre Practice (1963), ialah seluruh persiapan dalam permainan. Jadi plot berfungsi sebagi pengatur seluruh bagian permainan, pengawas utama dimana seorang penulis naskah dapat menentukan bagaimana cara mengatur lima bagian yang lain, yaitu  karakter, tema, diksi, musik, dan spektakel. Plot juga berfungsi sebagai bagian dasar yang membangun dalam sebuah teater dan keseluruhan perintah dari seluruh laku maupun semua bagian dari kenyataan teater serta bagian paling penting dan bagian yang utama dalam drama atau teater.
Pembagian plot dalam lakon klasik atau konvensional biasanya sudah jelas yaitu, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Seorang penulis seringkali meletakkan berbagai informasi penting pada bagian awal lakon, misalnya tempat lakon tersebut terjadi, waktu kejadiannya, pelaku-pelakunya, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada bagian tengah biasanya berisi tentang kejadian-kejadian yang bersangkut paut dengan masalah pokok yang telah disodorkan kepada penonton dan membutuhkan jawaban. Bagian akhir berisi tentang satu persatu pertanyaan penonton terjawab atau sebuah lakon telah mencapai klimaks besar.
Pembagian plot terkadang menggunakan tipe sebab akibat yang dibagi dalam lima pembagian. Bagian-bagian itu antara lain.
1)   Eksposisi adalah saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan atau memberi informasi pada penonton  tentang masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di  lakon.
2)   Aksi Pendorong adalah saat memperkenalkan sumber konflik di antara karakter-karakter atau di dalam diri seorang karakter.
3)   Krisis adalah penjelasan yang terperinci dari perjuangan karakter-karakter atau satu karakter untuk mengatasi konflik.
4)   Klimaks adalah proses identifikasi atau proses pengusiran dari rasa tertekan melalui perbuatan yang mungkin saja sifatnya jahat, atau argumentative atau kejenakaan atau melalui cara-cara lain.
5)   Resolusi adalah proses penempatan kembali kepada suasana baru. Bagian ini merupakan kejadian akhir dari lakon dan terkadang memberikan jawaban atas segala persoalan dan konflik-konflik yang terjadi

B.  Tata Artistik
Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi  tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.
          Tata panggung adalah  pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan  pemeranan dan suasana  panggung.
Tata cahaya atau lampu  adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.
Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan.
          Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.
Tata rias dan tata busana adalah   pengaturan rias dan busana  yang dikenakan  pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain  bisa terlihat jelas penonton.

1.  Setting
Membicarakan tentang setting dalam mengkaji lakon tidak ada kaitan langsung dengan tata teknik pentas, karena memang bukan persoalan scenery yang hendak dibahas. Pertanyaan untuk setting atau latar cerita adalah kapan dan dimana persitiwa terjadi. Pertanyaan tidak serta merta dijawab secara global tetapi harus lebih mendetil untuk mengetahui secara pasti waktu dan tempat kejadiannya.
Analisis setting lakon ini merupakan suatu usaha untuk menjawab sebuah pertanyaan apakah peristiwa terjadi di luar ruang atau di dalam ruang? Apakah terjadi pada waktu malam, pagi hari, atau sore hari? Jika terjadi dalam ruang lalu di mana letak ruang itu, di dalam gedung atau di dalam rumah? Jam berapa kira-kira terjadi? Tanggal, bulan, dan tahun berapa? Apakah waktu kejadiannya berkaitan dengan waktu kejadian peristiwa di adegan lain, atau sudah lain hari? Pertanyaan-pertanyaan seputar waktu dan tempat kejadian ini akan memberikan gambaran peristiwa lakon yang komplit (David Groote, 1997).

a. Latar Tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa lakon  itu terjadi. Peristiwa dalam lakon adalah peristiwa fiktif yang menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut Aristoteles peristiwa dalam lakon adalah mimesis atau tiruan dari kehidupan manusia keseharian. Seperti diketahui bahwa sifat dari naskah lakon bisa berdiri sendiri sebagai bahan bacaan sastra, tetapi bisa sebagai bahan dasar dari pertunjukan. Sebagai bahan bacaan sastra, interpretasi tempat kejadian peristiwa ini terletak pada keterangan yang diberikan oleh penulis naskah lakon dan dalam imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat peristiwa ini harus dikomunikasikan atau diceritakan oleh para pemeran sebagai komunikator kepada penonton.
Analisis ini perlu dilakukan guna memberi suatu gambaran pada penonton tentang tempat peristiwa itu terjadi. Analisis ini juga sangat penting dilakukan karena berhubungan dengan tata teknik pentas. Gambaran tempat peristiwa dalam lakon kadang sudah diberikan oleh penulis lakon, tetapi kadang tidak diberikan oleh penulis lakon. Analisis latar tempat dapat dilakukan dengan mencermati dialog-dialog peran yang sedang berlangsung dalam satu adegan, babak atau dalam keseluruhan lakon tersebut.

b.  Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar belakang peristiwa, adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang sudah diberikan atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis lakon, tetapi banyak latar waktu ini tidak diberikan oleh penulis lakon. Tugas seorang sutradara dan pemeran ketika menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi latar waktu dalam lakon tersebut. Dengan menggetahui latar waktu yang terjadi pada maka semua pihak akan bisa mengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata artistik akan menata perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan latar waktu.
Analisis latar waktu perlu dilakukan baik oleh seorang sutradara maupun oleh pemeran. Analisis latar waktu yang dilakukan oleh sutradara biasanya berhubungan dengan tata teknik pentas, sedangkan yang dilakukan oleh pemeran biasanya berhubungan dengan akting dan bisnis akting.  Latar waktu dalam naskah lakon bisa menunjukkan waktu dalam arti yang sebenarnya (siang, malam, pagi, sore), waktu yang menunjukkan sebuah musim (musim hujan, musim kemarau, musim dingin dan lain-lain), dan waktu yang menunjukkan suatu zaman atau abad (Zaman Klasik, Zaman Romantik, zaman perang dan lain-lain). Analisis latar waktu bisa dilakukan dengan mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh tokoh dalam adegan atau babak yang sedang berlangsung

c.  Latar Peristiwa
Latar peristiwa adalah peristiwa  yang melatari adegan itu terjadi dan bisa juga yang melatari lakon itu terjadi. Latar  peristiwa ini bisa sebagai realita bisa juga fiktif yang menjadi imajinasi penulis lakon. Latar peristiwa yang nyata digunakan oleh penulis lakon untuk menggambar peristiwa yang terjadi secara nyata pada waktu itu sebagai dasar dari lakonnya. Misalnya, lakon Raja Lear, mungkin saja William Shakespeare terinspirasi oleh bencana yang melanda Inggris  pada waktu itu, yaitu seolah-olah terjadi kiamat karena lakon ini dialegorikan sebagai kiamat kecil. Lakon-lakon dengan latar peristiwa yang riil juga terjadi pada lakon-lakon di Indonesia pada tahun 1950 sampai tahun 1970. Lakon pada waktu itu mengambil latar peristiwa pada Zaman Perang Revolusi di Indonesia.
Latar peristiwa pada adegan atau lakon adalah peristiwa yang mendahului adegan atau lakon tersebut, atau yang mengakibatkan adegan atau lakon itu terjadi



2. Tata Rias
Tata rias secara umum dapat diartikan sebagai seni mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias dalam teater mempunyai arti lebih spesifik, yaitu seni mengubah wajah untuk menggambarkan  karakter tokoh.
Tata Rias dalam teater bermula dari pemakaian kedok atau topeng untuk menggambarkan karakter tokoh. Contohnya, teater Yunani yang memakai topeng lebih besar dari wajah pemain dengan garis  tegas agar ekspresinya dapat dilihat oleh penonton.  Beberapa teater primitif menggunakan bedak tebal yang biasa dibuat dari bahan-bahan alam, seperti tanah,tulang,  tumbuhan, dan lemak binatang. Pemakaian tata rias akhirnya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa teater. 
Tokoh dalam teater memiliki karakter berbeda-beda. Penampilan tokoh yang berbeda-beda membutuhkan  penampilan yang berbeda sesuai karakternya. Tata rias merupakan salah satu cara menampilkan karakter tokoh yang berbeda-beda tersebut. Tata rias dalam teater memiliki fungsi sebagai berikut.
1)   Menyempurnakan penampilan wajah
2)   Menggambarkan karakter tokoh
3)   Memberi efek gerak pada ekspresi pemain
4)   Menegaskan dan menghasilkan  garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
5)   Menambah aspek dramatik.

3. Tata Busana
Tata busana adalah seni pakaian dan segala perlengkapan yang menyertai untuk menggambarkan  tokoh. Tata busana termasuk segala asesoris seperti topi, sepatu, syal, kalung, gelang , dan segala unsur  yang melekat pada pakaian.  Tata busana dalam teater memiliki peranan penting untuk menggambarkan tokoh. Pada era teater primitif, busana yang dipakai berasal dari bahan-bahan alami, seperti tumbuhan, kulit binatang, dan batu-batuan untuk asesoris. Ketika manusia menemukan tekstil dengan teknologi pengolahan yang tinggi, maka busana berkembang menjadi lebih baik.
Busana yang dipakai manusia beraneka ragam bentuk dan fungsinya. Fungsi busana dalam kehidupan sehari-hari untuk melindungi tubuh, mencitrakan kesopanan, dan memenuhi hasrat manusia akan keindahan. Busana dalam teater memiliki fungsi yang lebih kompleks, yaitu.
a.    Mencitrakan keindahan penampilan
b.    Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain
c.    Menggambarkan karakter tokoh
d.    Memberikan efek gerak pemain
e.    Memberikan efek dramatik

4. Tata Cahaya
`Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling penting dalam pertunjukan teater. Tanpa adanya cahaya maka penonton tidak akan dapat menyaksikan apa-apa. Dalam pertunjukan era primitif manusia hanya menggunakan cahaya matahari, bulan atau api untuk menerangi. Sejak ditemukannya lampu penerangan manusia menciptakan modifikasi dan menemukan hal-hal baru yang dapat digunakan untuk menerangi panggung pementasan. Seorang penata cahaya perlu mempelajari pengetahuan dasar dan penguasaan peralatan tata cahaya. Pengetahuan dasar ini selanjutnya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam pelanataan cahaya untuk kepentingan artistik pemanggungan.
Tata cahaya yang hadir di atas panggung dan menyinari semua objek sesungguhnya menghadirkan kemungkinan bagi sutradara, aktor, dan penonton untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala sesuatu yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya, sutradara dapat menghadirkan ilusi imajinatif. Banyak hal yang bisa dikerjakan bekaitan dengan peran tata cahaya tetapi fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir (Mark Carpenter, 1988).
1)   Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata cahaya. Lampu memberi penerangan pada pemain dan setiap objek yang ada di atas panggung. Istilah penerangan dalam tata cahaya panggung bukan hanya sekedar memberi efek terang sehingga bisa dilihat tetapi memberi penerangan bagian tertentu dengan intensitas tertentu. Tidak semua area di atas panggung memiliki tingkat terang yang sama tetapi diatur dengan tujuan dan maksud tertentu sehingga menegaskan pesan yang hendak disampaikan melalui laku aktor di atas pentas.
2)   Dimensi. Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek dapat dicitrakan. Dimensi dapat diciptakan dengan membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari sehingga membantu perspektif tata panggung. Jika semua objek diterangi dengan intensitas yang sama maka gambar yang akan tertangkap oleh mata penonton menjadi datar. Dengan pengaturan tingkat intensitas serta pemilahan sisi gelap dan terang maka dimensi objek akan muncul.
3)   Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan area yang hendak disinari. Jika dalam film dan televisi sutradara dapat memilih adegan menggunakan kamera maka sutradara panggung melakukannya dengan cahaya. Dalam teater, penonton secara normal dapat melihat seluruh area panggung, untuk memberikan fokus perhatian pada area atau aksi tertentu sutradara memanfaatkan cahaya. Pemilihan ini tidak hanya berpengaruh bagi perhatian penonton tetapi juga bagi para aktor di atas pentas serta keindahan tata panggung yang dihadirkan.
4)   Atmosfir.  Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir” digunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang terkandung dalam peristiwa lakon. Tata cahaya mampu menghadirkan suasana yang dikehendaki oleh lakon. Sejak ditemukannya teknologi pencahayaan panggung, efek lampu dapat diciptakan untuk menirukan cahaya bulan dan matahari pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, warna cahaya matahari pagi berbeda dengan siang hari. Sinar mentari pagi membawa kehangatan sedangkan sinar mentari siang hari terasa panas. Inilah gambaran suasana dan emosi yang dapat dimunculkan oleh tata cahaya.
Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa.  Gambar 203 memperlihatkan interaksi fungsi pokok tata cahaya.

5. Tata Panggung
Tata panggung disebut juga dengan istilah scenery (tata dekorasi). Gambaran tempat kejadian lakon diwujudkan oleh tata panggung dalam pementasan. Tidak hanya sekedar dekorasi (hiasan) semata, tetapi segala tata letak perabot atau piranti yang akan digunakan oleh aktor disediakan oleh penata panggung. Penataan panggung disesuaikan dengan tuntutan cerita, kehendak artistik sutradara, dan panggung tempat pementasan dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan penataan panggung seorang penata panggung perlu mempelajari panggung pertunjukan.
Dalam sejarah perkembangannya, seni teater memiliki berbagai macam jenis panggung yang dijadikan tempat pementasan. Perbedaan jenis panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta gaya pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda memiliki prinsip artistik yang berbeda. Misalnya, dalam panggung yang penontonnya melingkar, membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat dari setiap sisi. Berbeda dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari depan. Untuk memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami karakter jenis panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung tersebut.

6. TATA SUARA
Tata adalah suatu usaha pengaturan terhadap sesuatu bentuk, benda dan sebagainya untuk tujuan tertentu. Suara adalah getaran yang dihasilkan oleh sumber bunyi biasanya dari benda padat yang merambat melalui media atau perantara. Perantara dapat berupa benda padat, cair, dan udara kepada alat pendengaran. Tata suara adalah suatu usaha untuk mengatur, menempatkan dan memanfaatkan berbagai sumber suara sesuai dengan etika dan estetika untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk pidato, penyiaran, reccording, dan pertunjukan teater.
Tata suara berakibat langsung pada pendengaran manusia. Selaput pendengaran atau gendang telinga menerima getaran yang merambat melalui udara sesuai degan besar kecilnya suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi atau suara. Bentuk dari getaran tersebut adalah kerapatan dan kerenggangan udara yang disebut dengan gelombang suara. Gelombang suara yang sampai pada rongga telinga dapat menggetarkan selaput gendang pendengaran dan menimbulkan rangsangan pada ujung-ujung syaraf pendengaran. Rangsangan getaran udara yang berulang-ulang akan diteruskan ke pusat syaraf atau otak, apabila getaran yang berasal dari sumber bunyi berhasil mencapai otak melalui alat pendengaran, maka kita dapat mengatakan mendengar bunyi atau suara.




BAB 4

PESAN MORAL PERTUNJUKAN TEATER

Pertunjukan teater khususnya teater tradisional  mengandung pesan moral yang begitu tinggi  terhadap masyarakat pada umumnya  dan khususnya pada penonton. Pesan moral ini dapat diketahui  melalui amanat-amanat dalam suatu cerita (naskah lakon) yang dipertunjukkan. Di dalam cerita klasik seperti kisah Baratayuda dalam wayang kulit purwa Jawa. Dalam kisah Baratayuda  tersebut mengandung pesan moral  agar selalu menanamkan  kebenaran dan kejujuran yang akan mengalahkan  kebatilan.  Demikian juga kisah Ramayana, merupakan kisah yang mengandung  pesan moral  yang tinggi. Tokoh Rama, Raja Ayodya merupakan lambang kesucian dan kebenaran,  mengalahkan Rahwana, raja Alengka  yang sakti sebagai lambang kejahatan.  Kisah tersebut mengungkap pesan moral  agar setiap manusia  selalu mengedepankan kebenaran, kesucian dan kejujuran.
Pada dasarnya setiap pertunjukan  teater  memiliki pesan moral dan untuk dapat mengungkapkan pesan moral yang tepat dari pertunjukan hendaknya dalam menyaksikan  pertunjukan karya teater secara cermat dan penuh apresiatif.
Ada beberapa  nilai yang terkandung dalam seni drama atau seni teater, nilai-nilai  tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

A.      Nilai Moral
Nilai moral disini adalah  nilai yang berhubungan  dengan budi pekerti, etika dan susila. Setiap karya seni  pasti mengandung nilai moral.  Nilai moral yang ada di dalam karya seni, khususnya karya teater, dapat mengubah sikap dan prilaku penontonnya. Kalau nilai moralnya tinggi dapat membentuk perilaku penonton yang baik dan positif, tetapi kalau nilai moralnya rendah dapat membentuk penonton  memiliki perilaku yang kurang baik. Karya teater tradisi memiliki nilai moral  yang sangat tinggi.

B.      Nilai Budaya
Selain nilai moral, suatu karya teater juga mengandung nilai budaya, termasuk karya teater tradisi.  Setiap karya teater yang dipertunjukkan  menampilkan budaya kehidupan masyarakat  di dalam cerita yang dipentaskan.  Penonton dapat melihat budaya kehidupan masyarakat dalam suatu cerita yang dipentaskan, jika menonton pementasan itu secara lengkap  dari awal hingga selesai. Memang nilai budaya itu terkandung di seluruh rangkaian cerita. Tanpa menyaksikan secara lengkap, tidak mungkin bisa mengungkapkan nilai budaya yang ada.
C.      Nilai sosial
Nilai sosial atau kemasyarakatan  suatu karya teater sangat erat hubungannya dengan  budaya yang ada dalam cerita yang dipentaskan. Misalnya, suatu karya teater mengandung budaya gotong-royong, hal itu berarti memiliki nilai kemasyarakatan yang tinggi, yakni masyarakatnya memiliki sifat suka menolong, suka bekerjasama dan tidak egois. Jika karya teater itu mengandung budaya pergaulan bebas, berarti masyarakatnya juga tidak menghormati norma-norma yang ada.  Nilai budaya pada dasarnya merupakan kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat. Jika kebiasaan masyarakat itu baik, berarti  memiliki nilai kebudayaan yang baik pula. Sebaliknya, jika memiliki kebiasaan yang jelek, nilai budayanya juga rendah.  Nilai budaya sekaligus mempengaruhi nilai kemasyarakatan. Oleh karena itu penonton  perlu memiliki  kepekaan yang tinggi, jika ingin  dapat mengungkapkan nilai-nilai sosial budaya dengan benar.

D.      Nilai Pendidikan / Pedagogis
Seni drama atau teater merupakan salah satu genre sastra yang di dalamnya memiliki nilai pendidikan, baik secara umum yaitu pendidikan kewarganegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Maupun secara khusus, yaitu pendidikan moral, budi pekerti serta susila, dan pendidikan estetis. Hasil dari pendidikan adalah perubahan sikap. Oleh karena itu, pertunjukan drama atau teater dapat menghasilkan perubahan terhadap penonton.  Setelah menonton pertunjukan teater diharapkan memiliki moralitas yang tinggi dan budi pekerti yang luhur.
Karya teater benar-benar memiliki nilai pendidikan yang tinggi, terutama pendidikan moral disamping pendidikan kewarganegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Seperti yang telah diuraikan dimuka bahwa wayang kulit purwa Jawa dan Ramayana sarat  dengan nilai moral  dan benar-benar memiliki nilai pendidikan yang tinggi. Pertunjukan teater sangat cocok dikonsumsi  oleh anak usia  remaja karena mereka sedang mengalami masa  puber, memiliki rasa ego yang tinggi, ingin menang sendiri, merasa dirinya yang paling benar, emosional, sulit menghargai orang lain, dan cenderung tidak memiliki pegangan yang tetap.  Melalui pendidikan drama atau teater di sekolah, akan dapat mengubah perilaku yang dimilikinya menjadi baik dan terkontrol.
Oleh karena itu para siswa hendaknya secara intensif mementaskan dan menyaksikan karya teater,  terutama teater tradisi sehingga selain dapat mengubah perilaku, juga dapat dengan tepat mengungkapkan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.

E.       Nilai Kemanusiaan / Humanisme
Manusia dan kemanusiaan menjadi problematik sentral dalam kerja seni atau seni teater, maka seni drama atau teater adalah seni kolektif yang sarat akan muatan nili-nilai humanisme. Pada dasarnya sebuah seni drama atau seni teater yang termasuk dalam karya fiksi bertumpu pada penghayatan terhadap sosok-sosok tokoh  yang diciptakan, baik secara langsung oleh pengarangnya maupun secara tidak langsung melalui percakapan antar tokoh.
Didalam teater tradisional  tersebut amatlah kaya akan nilai-nilai humanisme, baik dalam tataran mikrokosmos maupun makrokosmos. Lakon-lakon yang terdapat dalam serial Ramayana dan Mahabarata secara tematis filosofis sarat akan muatan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua serial lakon perjuangan tersebut secara filosofis dapat dimaknai sebagai perang melawan angkara murka, keserakahan, ketamakan, kezaliman dan ketidakadilan. Tokoh-tokoh seperti Arjuna, Kresna, Semar, Werkudara, Gatotkaca, Hanoman dan Puntadewa merupakan tokoh idola masyarakat Jawa, bukan hanya karena kesaktiannya, tetapi juga nilai kemanusiannya (humanisme).

F.       Nilai Keindahan / Estetis
Karya teater merupakan salah satu karya sastra yang didalamnya mengandung nilai-nilai estetis yang bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan penonton pada khususnya. Keindahan di sini memiliki cakupan yang luas dan bermanfaat, yaitu keindahan moral, keindahan susila, keindahan akal, dan keindahan alami. Bagi orang yang menyaksikan karya teater, khususnya karya teater tradisi, akan dapat menikmati keindahan yang ada di dalamnya dan akhirnya mendapatkan kepuasan bathin.
Seni drama atau teater merupakan tempat bertemunya berbagai cabang seni, yaitu seni musik, seni tari, seni suara, seni panggung, seni lukis dan seni peran.  Perpaduan seni tersebut membawa suatu keindahan akali yang benar-benar menarik dan menjadi kepuasan bathin


Contoh Soal UAS semester Ganjil

1.        Berusaha  mengerti tentang seni  dan menjadi peka terhadap segi-segi di dalamnya sehinga secara sadar mampu menikmati dan  menilai karya dengan semestinya, disebut :
a.     Mengapresiasi     b. Menonton   c. Melihat    d. Menilai      e. Mengkritik
      
2.        Hasil pemikiran, karya dan segala aktivitas (bukan perbuatan), yang merefleksikan naluri secara murni adalah definisi dari :
a.               Kebudayaaan           b. Seni         c. Apresiasi   d. Etika        e. Estetika

3.        Kenikmatan seni bukanlah  kenikmatan fisik lahiriah, melainkan kenikmatan:
a. Rohani        b. Jasmani              c. Batiniah              d. Estetika       e. Spiritual

4.        Nilai yang muncul bila kita menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika dari penggubah  seni disebut dengan nilai :
a. Rohani        b. Jasmani              c. Batiniah              d. Estetika    e. Spiritual

5.        Seni adalah  penciptaan benda atau segala hal  yang karena keindahan bentuknya, orang senang melihat atau mendengar. Istilah tersebut  pendapat dari:
a.   Ensiklopedia Indonesia             b. Ki Hajar Dewantara                 c. Aristoteles
d.    Schopenhauer                         e. Thomas Munro

6.        Seni adalah  suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Meskipun musik adalah seni yang paling abstrak, tapi tiap orang menyukainya. Istilah tersebut  pendapat dari :
a.  Ensiklopedia Indonesia              b. Ki Hajar Dewantara                 c. Aristoteles
d. Schopenhauer                          e. Thomas Munro

7.        Seni adalah  alat buatan manusia (penggubah) untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain (penerima) yang melihatnya. Efek-efek tersebut mencakup segala tanggapan yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang rasional maupun yang emosional.Istilah tersebut  pendapat dari :
a.  Ensiklopedia Indonesia              b. Ki Hajar Dewantara                 c. Aristoteles
d. Schopenhauer                          e. Thomas Munro

8.        Cabang seni rupa bentuk medianya adalah :
a.  Benda                  
b.  Tulisan                 
c.   Tubuh manusia, gerak dan musik
d.         Suara, benda, manusia dan gerak proses
e.         Manusia, benda/alam, akting, adegan, suara atau musik

9.        Cabang seni teater bentuk medianya manusia, benda/alam, akting, adegan, suara atau musik
a.  Benda                  
b.  Tulisan                 
c.   Tubuh manusia, gerak dan musik
d.         Suara, benda, manusia dan gerak proses
e.         Manusia, benda/alam, akting, adegan, suara atau musik

10.     Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal dari pengamatan yang menimbulkan rasa senang. Definisi tersebut pendapat dari :
a.    Al Ghazali                      b. Alexander Baumgarten            c. Herbert Read
d.   Immanuel kant              e. Zulser

11.     Manusia memiliki kelebihan berupa akal pikiran, kalbu, emosi, nafsu, dan kemampuan membuat sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran untuk membuat sesuatu (kreasi) yang baru, baik, nyata atau abstrak disebut
a.  Kreativitas                       b. Ekspresi             c. Pengalaman       
d.         Menikmati                        e. Melihat

12.     Sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang belum pernah dibuat orang sebelumnya, baik dalam hal ide, teknik, dan media, merupakan ciri khusus proses kreasi seni yang :
a.  Unik                               b. Individual (pribadi)                 c. Ekspresif  
d.  Universal                       e. Survival (tahan lama)

13.     Karya seni merupakan hasil curahan bathin berupa penjabaran dari ide, renungan, perasaan, atau pengalaman seniman, merupakan ciri khusus proses kreasi seni yang:
a.  Unik                              b. Individual (pribadi)                 c. Ekspresif  
d.  Universal                       e. Survival (tahan lama)

14.     Teater berasal dari kata Yunani, yaitu :
a.  Theatron                        b. Neotron                       c. Proton
d.   Theather                       e. Teateron

15.     Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh  raja dari Kasunanan Surakarta yaitu Sri Paduka Mangkunegoro ke :
a.               V                 b. VI            c. VII           d. VIII                   e. IX

16.     Penulis lakon Ken Arok danKen Dedes (1934) adalah :  
a.     Rustam Efendi                        b.  Sanusi Pane                 c. Muhammad Yamin
d.   Armijn Pane                           e.  Sutan Takdir Alisjabana

17.     Putu Wijaya merupakan tokoh teater Indonesia yang mendirikan kelompok teater :
a.  Teater Mandiri                           b. Teater populer              c. Teater Kecil        
d.  Teater Koma                            e.  Studyclub teater Bandung      

18.     N. Riantiarno  merupakan tokoh teater Indonesia yang mendirikan kelompok teater:
a.  Teater Mandiri                b. Teater populer              c. Teater Kecil        
d.   Teater Koma                 e.  Studyclub teater Bandung

19.     Pertunjukan wayang sudah ada  tahun 907 Masehi sejak jaman pemerintahan :
a.     Raja Balitung                          b. Raja Kertanegara          c. Prabu Brawijaya  
d.   Raja Jayakatwang                   e. Raja Arya Wiraraja

20.     Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda dengan yang berkembang di Jawa Tengah, yaitu dikenal dengan sebutan :
a.     Wayang Dalang             b. Topeng Dalang                       c. Topeng    
d.  Wayang klitik                e. Wayang wong

21.     Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang berkembang didaerah :
a.    Jawa Timur         b. Aceh         c. Papua       d. Riau         e. Madura

22.     Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang terdapat di daerah:
a.               Aceh            b. Sasak       c. Manado     d. Minangkabau       e. Riau

23.     Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah:
a.               Randai          b. Ludruk      c. Wayang        d. Mamanda         e. Randai
24.     Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di:
a.         Sunda           b. Madura     c. Betawi      d. Banten      e. Yogyakarta

25.     Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah:
a.         Sunda           b. Madura     c.  Betawi     d. Banten      e. Yogyakarta

26.     Unsur estetis sebuah pertunjukan  teater merupakan  keindahan yang bermanfaat, yaitu keindahan  :
a.               Moral           b.  Susila      c. akal          d. Alami        e. Semuanya betul

27.     Teater daerah atau tradisional  merupakan karya seni  yang memiliki keunikan  tersendiri. Keunikan teater daerah setempat dapat dilihat dari, kecuali :
a.  Bentuk penyajiannya                 b. Gerak fisiknya     c. Latar serta settingnya   
d.  Irama musiknya                       e. Tradisinya

28.     Tempat untuk mempertunjukkan permainan aktor atau pemain disebut :
a.  Panggung     b. Lapangan         c. Sketsel      d. Auditorium          e. Arena

29.     Tempat bagi penonton  yang menyaksikan pertunjukan  disebut :
a.  Panggung     b. Lapangan         c. Sketsel      d. Auditorium          e. Arena

30.     Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater adalah, kecuali :
a.  Naskah lakon        b. Setting     c. Sutradara      d. Pemain       e. Penonton

31.     Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu , kecuali :
a.  Dialog        b. Tema        c. Plot          d. Setting     e. Tokoh

32.     Orang yang menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah disebut :
a.  Pemain       b. Tokoh       c. Peran        d. Casting     e. Sutradara

33.     Siapa tokoh teater yang menggariskan tiga asas kesatuan dalam teater, yaitu asas kesatuan waktu, tempat, dan lakon :
a.  Plato          b. Rendra     c. Aristoteles    d. Agusto Comte      e.Sopochles

34.     Pembagian plot saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan atau memberi informasi pada penonton  tentang masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di  lakon disebut :
a.  Krisis          b. Klimaks     c. Resolusi    d. Eksposisi   e. Aksi pendorong

35.     Pembagian plot saat proses penempatan kembali kepada suasana baru. Bagian ini merupakan kejadian akhir dari lakon dan terkadang memberikan jawaban atas segala persoalan dan konflik-konflik yang terjadi disebut :
a.  Krisis           b. Klimaks     c. Resolusi    d. Eksposisi   e. Aksi pendorong

36.     Tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan disebut :
a.  Unsur estetik                  b. Unsur artistik                c. Panggung          
d.  Naskah Lakon                e. Asesoris pertunjukan

37.     Pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan  pemeranan dan suasana  panggung disebut :
a.  Tata Panggung               b. Tata Busana                  c. Tata Rias  
d.  Tata cahaya                            e. Tata Musik

38.     Pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa, disebut :
a.  Tata Panggung                         b. Tata Busana                  c. Tata Rias  
d.  Tata cahaya                            e. Tata Musik

39.     Tata rias dalam teater memiliki fungsi sebagai berikut, kecuali :
a.  Menyempurnakan penampilan wajah  dan Menggambarkan karakter tokoh 
b.  Memberi efek gerak pada ekspresi pemain 
c.   Menegaskan dan menghasilkan  garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
d.  Menambah aspek dramatik
e.  Membuat wajah kelihatan lebih cantik

40.     Busana dalam teater memiliki fungsi yang lebih kompleks, yaitu kecuali :
a.  Mencitrakan keindahan penampilan
b.  Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain
c.   Menggambarkan karakter tokoh dan Memberikan efek gerak pemain 
d.  Menambah ketertarikan penonton
e.  Memberikan efek dramatik

41.     Fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu kecuali :
a.  Penerangan          b. Pencahayaan       c. Dimensi     d.  Pemilihan    e. Atmosfir

42.     Nilai yang berhubungan  dengan budi pekerti, etika dan susila, disebut :
a.  Nilai moral                     b. Nilai Budaya                  c. Nilai Sosial
d.  Nilai Pendidikan             e. Nilai Humanisme

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Agustinus Suharjoko, S.Sn. Alumni Institut Seni Indonesia Yogjakarta (2003) n sekarang jadi pengajar seni budaya di SMAN 1 Kalianget. Menjadi Ketua MGMP Seni Budaya SMA Kabupaten Sumenep,Ketua Lembaga Tanah Kapur(kajian, dokumentasi dan apresiasi budaya Madura), Komite teater DKJT (2008-2013) dan Pengurus FK Metra Propinsi Jawa Timur(2009-2014). Penghargaan Kesenian sebagai Pemuda Pelopor Jatim 2003, Seniman berprestasi tingkat Nasional, Sutradara dan penata artistik beberapa karya seni pertunjukan tingkat Jawa timur dan nasional. Beberapa karya seni pertunjukan ; Alalabang 1 & 2 (2006-2007), san misan (2007), ronjangan pateh (2006), arokat mempe (2008).Ivent yang pernah diikuti Fest. karya tari Indoneia (2006), International Dance Festival (2006), Festival Seni Tradisi Lisan Nusantara (2007), Pawai Keprajuritan Nusantara (2007),Pesta kesenian Bali 2007, Penyaji dan sutradara terbaik Fragmen Budi Pekerti 2006, 2007 dan 2008.Penyaji terbaik Pekan seni Pelajar (teater) 2003,2005 dan 2007. Sekarang membangun komunitas musik perkusi ;Le Gung. Pengembangan pendidikan seni dan Pembina ekskul teater dan cinematografi di SMAN 1 Kalianget.

Eatore